Jakarta, Aktual.com – Banyak manfaat media sosial, namun media sosial juga memanfaatkan kita. Indonesia dengan 139 juta pengguna internet (proyeksi APJII 2016) adalah tempat bisnis menggiurkan bagi mesin pencari seperti google, yahoo, dan lain-lain, serta media sosial seperti facebook, Instagram, twitter, youtube, dan lain-lain.
Hal ini disampaikan Mantan Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Membangun Karakter Pers Pancasila, Mengawal dan Menyukseskan Kepentingan Nasional”, di Aula Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada Rabu Sore (28/7).
Selain Agus, dua narasumber lainnya adalah Tarman Azzam (Wartawan Senior, Ketua Dewan Penasehat PWI Pusat) dan Hariqo Wibawa Satria (Direktur Eksekutif Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi). Acara ini sekaligus sebagai Halal Bi Halal insan media yang diadakan Social Media For Civic Eduation (SMCE).
“Tak diragukan lagi, Google, Facebook, Yahoo, dan lain-lain memberikan sumbangan berarti bagi kemajuan peradaban masyarakat, namun di sisi lain para raksasa digital ini juga tidak membayar pajak kepada Indonesia. Kita harus melakukan sesuatu agar Indonesia punya mesin pencari seperti nama-nama besar itu. Kita harus bisa memanfaatkan, meskipun faktanya kita juga dimanfaatan,” jelas Agus Sudibyo dalam diskusi tersebut.
Pembicara lainnya, Hariqo Wibawa Satria melihat isu utama terkait media sosial di Indonesia masih seputar keamanan penggunanya, baru sedikit yang membahas terkait keamanan dan kedaulatan negara. Benturan kepentingan antara negara dengan pemilik mesin pencari dan media sosial adalah hal bisa terjadi, sebabnya bisa dua hal; merawat atau mempertahankan kekuasaan dan kedua memperjuangkan kepentingan nasional.
Ia juga menekankan pada pentingnya peningkatan gotong royong dalam memperjuangkan kepentingan nasional lewat media sosial. “Terjadi peningkatan gotong royong di media sosial untuk isu-isu kemanusiaan, namun untuk isu-isu terkait radikalisme, terorisme, apalagi separatisme juga ada gotong royong, namun perlu lebih ditingkatkan lagi,” jelas Hariqo.
Hariqo melanjutkan, bahwa di era digital setiap orang adalah diplomat, pemahaman ini harus terus dibangun. “Diplomat bukan saja mereka yang bekerja di Kemlu, KBRI atau lulusan HI, namun setiap kita adalah diplomat. Itu teori, untuk aksinya saat ini Komunikonten bersama Relawan Komunitas Peduli ASEAN sedang melakukan promosi Indonesia di medsos, dimulai dari Aceh hingga papua nanti dengan tagar #kepnasindonesia,” jelas Hariqo.
Sementara itu, terkait dengan membangun karakter pers Pancasila, Mantan Ketua PWI Pusat, Tarman Azzam menjelaskan bahwa sebenarnya jika wartawan konsisten mentaati kode etik jurnalistik dan dan Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program (P3SPS) maka dengan sendirinya karakter Pancasila itu akan muncul.
“Banyak sumber yang bisa dibaca terkait peran pers dalam pergerakan nasional dan kemerdekaan bangsa kita, nah setelah kita merdeka sekarang, hal ini perlu ditanamkan agar pers terus berjuang untuk kepentingan nasional, membangun karakter pers Pancasila adalah kerja yang tidak boleh berhenti dari generasi ke generasi,” jelas Tarman Azzam.
Pria asal Bangka ini juga mengingatkan agar pemerintah tidak membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan kepentingan nasional. “Saya yakin wartawan akan memberitakan dengan objektif, namun kebijakan-kebijakan pemerintah juga harus berpihak pada kepentingan nasional,” ujarnya.
Di Akhir diskusi, Ahmad Rouf Qusyairi (Direktur Eksekutif SMCE) menekankan bahwa diskusi ini membuka wawasan kita tentang media sosial, diplomasi dan kepentingan nasional. “Kita tanya pada diri sendiri, sudahkah kita memanfaatkan media sosial untuk kepentingan nasional, dan sudahkah negara mengantisipasi hal-hal negatif dari media sosial dengan maksimal,” pungkas Ahmad.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan