Sejumlah warga melihat kondisi Kelenteng Dewi Samudera yang telah dipasang garis polisi pasca kerusuhan, di Tanjung Balai, Sumatera Utara, Sabtu (30/7). Kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai pada Jumat (29/7) menyebabkan sejumlah vihara dan kelenteng rusak. ANTARA FOTO/Anton/im/nz/16

Jakarta, Aktual.com – Kerusuhan yang berujung pada pengerusakan sejumlah tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara harus disikapi sebagai pelajaran berharga. Masyarakat dinilai harus meningkatkan sikap toleransi antar umat beragama.

Sebab, sesuai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setiap warga negara Indonesia dijamin kebebasannya untuk menentukan kepercayaan yang memang mereka yakini.

“Saling memahami kultur dan tradisi agama masing-masing adalah inti tercegahnya kesalahpahaman dan kesewenang-wenangan antar umat beragama,” kata politikus PPP, Djan Faridz, di Jakarta, Minggu (31/7).

Dia pun menghimbau kepada seluruh pihak untuk cermat melihat situasi dan kondisi yang ada. Jangan mudah terpancing terhadap provokasi oknum-oknum tertentu.

“Masyarakat harus bersikap saling menghormati dan saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat dihindari,” terangnya.

Seperti diketahui, pada Jumat (29/7) malam terjadi kerusuhan di sejumlah tempat di pusat kota Tanjung Balai. Bentrokan dipicu karena adanya keluhan dari salah seorang warga yang merasa terganggu akibat pengeras suara masjid.

Awalnya, keluhan wanita ini coba diselesaikan oleh kepala lingkungan di sana. Namun, karena tidak mencapai kesepakatan, akhirnya masalah ini dibawa ke ranah hukum.

Suasana pun akhirnya pecah sekitar pukul 00.45, Sabtu (30/7). Dimana sekumpulan massa bergerak dan melakukan pengerusakan beberapa tempat ibadah.

Dalam catatan polisi, ada 2 vihara dan 8 kelenteng dirusak. Hingga mengharuskan Mabes Polri turun langsung ke lokasi kejadian.

Pihak Kepolisian sendiri menyebut bahwa kerusuhan ini terjadi lantaran ketidaksinkronan informasi yang diterima masyarakat. (Zhacky)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka