Jakarta, Aktual.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar diingatkan agar tidak larut dalam eforia kekuasaan. Sebagai sosok baru dalam Kabinet Kerja didesak menjawab kendala pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mempunyai persoalan kompleksitas.
Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan setidaknya pengembangan EBT haru mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah, PLN dan dorongan minat investor. Untuk itu diperlukan kerangka regulasi yang transparan dan konstruktif.
“Kejelasan mekanisme subsidi untuk pembelian listrik dari energi terbarukan untuk PLN sebagai off-taker perlu segera diputuskan pada tahun ini. Ketiadaan mekanisme subsidi ini disinyalir sebagai salah satu faktor keengganan PLN mengimplemerntasikan kebijakan harga beli energi terbarukan dari pengembang,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. Minggu (1/8).
Lebih lanjut, menurut Fabby, Pengembangan EBT memerlukan dukungan pendanaan langsung, selain skema insentif fiskal. Untuk mencapai target 23 persen EBT hingga tahun 2025, memerlukan investasi senilai Rp1.600 triliun atau Rp200 triliun per tahun.
Sementara kemampuan dana publik dan capex BUMN diperkirakan hanya Rp20-40 triliun pertahun. Untuk menutup kebutuhan pendanaan ini diperlukan eskalasi dana publik, sekaligus stimulus finansial untuk memobilisasi investasi swasta dan pendanaan dari lembaga keuangan.
Namun demikian, Presiden telah menyetujui pembentukan Dana Ketahanan Energi (DKE) dan APBN-P 2016 telah mengalokasikan Rp1,6 triliun untukdikelola. Fabby memperkirakan DKE dapat menjadi instrumen penting untuk mendorong investasi EBT dan mewujudkan ketahanan energi.
“Karenanya penyelesaian aturan yang menjadi dasar hukum DKE dan aturan pelaksanaannya sangat mendesak untuk diselesaikan dalam 2 sampai 3 bulan kedepan,” pungkasnya. (Dadangsah)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka