Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan tanggapan terkait protes pemerintah Cina atas penembakan kapal nelayannya di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Selasa (21/6). Susi menyatakan tembakan peringatan oleh TNI AL terhadap kapal nelayan Cina pada 17 Juni 2016 tersebut sudah sesuai Standar Operasional Prosedur karena kapal Cina telah melanggar perbatasan di perairan Natuna. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pd/16.

Denpasar, Aktual.com – Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti melakukan inspeksi mendadak (sidak) di Pelabuhan Ikan Benoa Bali. Menurut dia, sidak kali ini dilakukan atas dasar hasil kajian dan investigasi yang telah dilakukan di pelabuhan terbesar pendaratan ikan tersebut.

Sebelum moratorium, kata Susi, ada sebanyak 1.100 kapal ikan yang berlabuh di Benoa. Setelah moratorium usai, Susi mengaku pemerintah telah memberi kesempatan untuk melakukan registrasi ulang, agar kapal asing dapat kembali ke negara asalnya. Bagi dia, hal itu dilakukan guna memerangi praktik pencurian ikan yang marak terjadi di perairan Indonesia.

“Kita sadar pemerintah melakukan kesalahan dan teledor bahwa kapal eks asing tidak perlu ditenggelamkan. Ada bagian pemerintah di mana kita tidak berhasil. Mereka tidak kita tenggelamkan. Mereka harus kembali ke negaranya, tidak menuntut pajak. Pemerintah sangat longgar dalam hal ini,” kata Susi di Pelabuhan Benoa, ditulis Rabu (3/8).

Namun, Susi melanjutkan, upaya pemerintah itu rupanya dianggap enteng. “Mereka memodifikasi, memanipulasi badan kapal, memanipulasi GT, dokumen dan sebagainya. Itulah sebabnya kami datang sidak. Dan hasilnya memang benar adanya,” tegas dia.

Menurut Susi, di Pelabuhan Benoa apa yang dilakukan kapal eks asing bukan deregistrasi pulang ke negaranya, tetapi memodifikasi kapal. Seolah-olah kapal tersebut milik Indonesia lalu kembali melaut dan mencuri ikan di perairan Indonesia. Tentu saja hasilnya dibawa ke luar negeri. Susi menjelaskan, berdasarkan pelaksanaan analisis dan evaluasi kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri pertanggal 3 November 2014 terdapat 152 eks asing yang dimiliki oleh 62 pemilik kapal yang beroperasi di Pelabuhan Benoa. Jumlah tersebut terdiri dari 134 kapal eks Taiwan, 8 eks China,5 eks Jepang, 2 eks Belize, 2 eks Thailand, 1 eks Vietnam.

“Ini semua ilegal, tidak sah. Selama moratorium, kapal-kapal tersebut dilarang melakukan kegiatan usaha penangkapan. Namun ternyata mereka tetap melakukan aktifitas penangkapan ikan,” ucapnya geram.

Daru jumlah tersebut, yang masih berada di Benoa hanya tinggal 119 kapal. Sebanyak 33 kapal telah kabur dengan membawa dokumen palsu. Bukan hanya membawa dokumen palsu, tetapi mereka juga membawa para ABK ke luar wilayah Indonesia tanpa memiliki dokumen yang jelas. Dari hasil sidak tersebut diketahui ada kapal berganti nama, ada praktik penyalahgunaan dokumen kapal.

“Ini adalah praktik mark down, di mana semua GT diturunkan menjadi di bawah 30 GT. Padahal, fakta di Pelabuhan Benoa semua dipalsukan. Dan yang paling besar adalah 200 GT, diturunkan menjadi 29 GT. Mereka memanipulasi izin dari daerah setempat. Kapal fiber diganti dengan kapal kayu,” papar dia.

“Pelabuhan Benoa ini menjadi salah satu pelabuhan pendaratan ikan terbesar di wilayah timur Indonesia, tetapi sekaligus menjadi tempat manipulasi terbesar juga. Negara mengalami banyak kerugian triliunan rupiah,” tambah Susi.

Menurut Susi, temuan tersebut tidak hanya berhenti di temuan belaka. KKP akan menindaklanjutinya dengan mengawasi penyelidikan dan penyidikan. “Kita akan tangkap mereka, kita akan proses hukum mereka. Bila terbukti, sanksinya sudah jelas. “Ini harus ditindak tegas,” tutup Susi. (Bobby Andalan)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka