Jakarta, Aktual.com-Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Wilgo Zainar menilai usulan revisi APBNP 2016 merupakan cerminan tidak krediblenya pemerintah dalam mengelola anggaran. Padahal, hal itu juga tidak akan berdampak pada berkurangnya volume belanja negara.

“Saya kira ketidakcermatan pemerintah dalam menetapkan target penerimaan sehingga berdampak juga pada belanja yang expansive,” ujar Wilgo di Jakarta, Minggu (14/8).

Lebih lanjut, Politisi Gerindra ini mengatakan pemerintah boleh saja optimis dengan adanya Tax Amnesty untuk menambah pendapatan. Namun, juga harus tetap realistis terhadap kondisi perekonomian nasional, regional dan global yang masih melambat.

“Tadinya mungkin pemerintah berpikir, dengan adanya tax amnesty dapat menambal kekurangan dalam APBNP 2016. Namun kenyataannya Tax Amnesty 165 Triliun yang diharapkan menjadi tumpuan pendapatan negara kita untuk menopang APBNP 2016 ini belum mampu mendongkrak defisit APBNP,”

“Faktanya, Menkeu saat ini memilih langkah lebih konservatif untuk mengurangi belanja yang belum prioritas ketimbang nanti penerimaan yang diharapkan tidak dapat tercapai sehingga memperlebar defisit kita yang memang dibatasi oleh UU tidak boleh lebih dari 3%,” ungkap Wilgo.

Namun tak dapat dipungkiri, lanjut dia, pemerintah dan DPR sangat mengharapkam keberhasilan Tax Amnesty.

“Kita akan lihat progres pada periode I ini, bila tidak mencapai 40% maka tentunya target Rp.165 T ini rasanya berat tercapai karena periodenisasi tahap I adalah pijakan awal dengan rate tebusan terendah baik repatriasi maupun deklarasi,” pungkasnya.

Karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya dalam mensukseskan program tax amnesty guna membantu defisit APBN saat ini.

“Saya kira kesiapan aparatur pajak khususnya dalam memahami tax amnesty ini harus linier dengan UU dan kebijakan pemerintah pusat melalaui Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kalau tidak demikian, akan ada keraguan WP untuk ikut program TA ini,” kata Wilgo.

Namun yang jadi masalah, sambungnya, implementasi program Tax Amnesty masih membuat masyarakat belum memahami secara utuh.

“Contoh soal BUPER (Bukti Permulaan) yang dikeluarkan beberapa Kantor DJP di daerah kepada wajib pajak pasca diundangkan TA ini cukup membingungkan disaat mereka akan melakukan TA namun terkendala oleh hal ini. Sedangkan edaran DJP mengatkan tidak ada law enforcement pada fase TA ini. Mungkin ini salah satu yang harus ditegaskan kembali mana yang sebenarnya pada wajib pajak dan publik,” ungkap dia.

Oleh karena itu, menurutnya, ada beberapa kemungkinan yang akan dilakukan pemerintah jika program tax amnesty yang awalnya ditujukan untuk menutup shortfall APBN tidak tercapai. Yakni menambah hutang luar negeri atau menerbitkan obligasi pemerintah di dalam negeri.

“Atau kembali memotong anggaran lagi. Ini semua dilematis,” cetusnya.

Yang jelas, tambah dia, usulan revisi tersebut mengingatkan bahwa perekonomian negara dalam taraf mengkhawatirkan.

“Perekonomian kita masih relatif berat tampak dari angka pengangguran, kemiskinan yang meningkat dan masih tinggi. Bukti nyata penerimaan pajak sejak 2015 sampai dengan saat ini selalu shortfall. Kita berharap target TA bisa tercapai minimal 70% sudahh cukup bagus membantu APBN kita yang dalam kondisi berat ini,” tandas Wilgo.

Artikel ini ditulis oleh: