Kudus, Aktual.com – Rawan ‘merembes’ ke pasaran, Pemerintah diminta meninjau ulang izin impor gula kristal mentah atau “raw sugar”.

Kekhawatiran disampaikan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Nur Khabsyin atas impor gula yang sedianya untuk rafinasi maupun untuk konsumsi itu.

“Kami khawatir rembesnya gula impor ‘raw sugar’ ke pasar lain selain untuk industri makanan dan minuman akan berdampak besar terhadap harga lelang gula petani,” kata dia, di Kudus, Senin (15/8).

Harga lelang gula pada awal giling sekitar bulan Juni 2016, rata-rata Rp14.000 per kilogram lebih. Saat ini, anjlok sekitar Rp3.000/kg, menjadi berkisar Rp11.000/kg lebih.

Tingkat rendemen tebu petani, saat ini masih rendah hanya sekitar 6-6,7 persen. Padahal, pemerintah berjanji jamin rendemen 8,5 persen, meskipun izin impor sudah diberikan.

Kata dia, meski kuota izin impor tersebut belum seluruhnya terealisasi, namun dampaknya sudah sangat besar terhadap harga lelang gula petani.

Pengalaman tahun 2013 dan 2014, harga lelang gula petani sempat jatuh di bawah HPP saat itu sebesar Rp8.500/kg karena lelang gula sampai Rp7.400/kg.

“Untuk itu, Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meminta pemerintah meninjau ulang izin impor raw sugar tersebut agar pengalaman pahit tahun sebelumnya tidak terulang,” ujar dia.

Apalagi, lanjut dia, saat ini musim giling tebu tahun 2016 pada posisi puncak dan sesuai dengan perkiraan produksi gula kristal putih (GKP) sebesar 2,4 juta hingga 2,5 juta ton.

Dengan demikian, kata dia, jika kebutuhan untuk konsumsi diperkirakan 2,7 juta ton hingga 2,8 juta ton gula, maka diperlukan tambahan sekitar 350.000 ton gula. “Biasanya pemerintah memberikan izin impor ‘raw sugar’ untuk kapasitas menganggur,” ujarnya.

Sementara untuk kebutuhan gula kristal rafinasi berkisar 2,4 juta ton dan dipenuhi dengan alokasi 2,6 juta ton “raw sugar” yang diproses oleh pabrik gula rafinasi.

Namun, lanjut dia, pemerintah memberikan kuota impor kepada 11 pabrik gula rafinasi totalnya mencapai 3,2 juta ton, sehingga ada kelebihan sekitar 600.000 ton yang berpotensi merembes ke pasar konsumsi. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara