Jakarta, Aktual.com – Kapan terakhir Anda berjalan-jalan ke Danau Toba atau Sumatera Utara? Sudah sempat merasakan masakan yang spesial ini? Dimakan mentah namun tanpa bau amis sedikitpun. Kalau di Peru bisa menikmati Ceviche makanan khas unggulan negara itu, dimana proses memasaknya tidak menggunakan api. Ikan kakap merah mentah atau bisa juga scallop, dan ikan lainnya yang berserat besar berdaging medium yang direndam air jeruk lemon untuk membuat daging ikan matang. Mirip seperti salad ikan dengan rasa segar?
Di Tano Batak jenis masakan ikan tanpa dimasak itu juga bisa kita temui. Namanya, Naniura. Bedanya kalau ceviche disajikan dengan irisan bawang merah besar di atasnya; nah Naniura ini disiram dengan bumbu halus berwarna kuning. “Anda pasti penasaran kan? Gimana bau amisnya? Gimana rasanya? You mesti coba!” kata Vita Datau, Ketua Tim Percepatan Wisata Kuliner dan Belanja Kemenpar, di Jakarta, Senin (22/8).
Naniura adalah salah satu makanan khas Batak Tapanuli Utara, yang bisa ditemui di Danau Toba, Medan dan Pematang Siantar. Jika dahulu kala naniura hanya dihidangkan untuk raja-raja Batak, sekarang makanan khas ini sudah bisa dinikmati oleh banyak orang. Bahkan bisa ditemui di restoran tertentu di sana. “Di Balige kita perlu memesannya, karena persiapan dan proses pembuatannya membutuhkan waktu, juga harus dari ikan yang segar,” tambah Vita yang juga Ketua Akademi Gastronomi Indonesia itu.
Proses pembuatannya cukup menarik, ikan mas mentah yang dalam bahasa aslinya disebut Dekke dibersihkan duri dan lendirnya dulu. Lalu dimatangkan dengan cara merendamnya dengan air asam Jungga atau lebih umum dikenal sebagai jeruk purut.
Proses ini membuat kualitas protein di ikan mas menjadi lebih utuh karena tidak terkena api sama sekali. Tidak direbus, tidak digoreng, tidak dibakar, tidak diasap, tidak kena panas api sama sekali.
Ikan yang digunakan sebaiknya berukuran kecil agar matangnya merata dan masih hidup agar tetap segar. Membutuhkan waktu 2-3 jam untuk memasak Nani Ura yang juga menjadi makanan wajib di acara-acara adat Batak. Ikan dianggap siap makan apabila daging ikan sudah kenyal dan mudah disobek.
Bumbu siram yang terdiri dari gabungan 10 macam bumbu termasuk andaliman, kecombrang mempunyai citarasa gurih yang kuat dan harum yang khas membuat selera makan kita tergoda untuk segera mencicipi. Texture kenyal dari daging ikan yang sudah meresap asam jungga menghadirkan sensasi tersendiri.
Beda dengan arsik makanan khas Batak lainnya, Dekke di Naniura ini memiliki tekstur kenyal namun mudah dikunyah dan dimakan bersama bumbu yang melumuri seluruh badan ikan mas itu. Menariknya, ikan yang digunakan juga harus ikan air tawar, pas dengan Danau Toba yang airnya tawar.
Melihat dari komposisi bumbu Naniura, makanan ini sangat bermanfaat bagi kesehatan. Terbayang oleh saya mengapa orang-orang tua kita lebih panjang umur; ini karena mereka mempunyai kebiasaan makan makanan yang baik. Menggunakan bahan-bahan yang segar. Kebiasaan ini yang harus diturunkan kekeluarga. Memperkenalkan anak anak kita cara makan makanan yang baik yang biasanya ada di makanan tradisional. Lagi lagi kearifan local tidak pernah salah. Cara makan dan jenis makanan di suatu daerah ditentukan oleh kondisi alam sekitar. Itulah salah satu prinsip gastronomi yang terkenal dengan sebutan otentiksitas.
“Artinya kita tidak akan pernah bertemu dengan rasa asli yang otentik jika tidak langsung berkunjung ke daerah asalnya. Naniura tempatnya, tentu saja Sumatera Utara,” katanya.
Menpar Arief Yahya menyebut jenis makanan naniura ini adalah khas Batak, dan hanya bisa ditemukan di budaya makan Tapanuli. Tidak semua tempat di tanah air punya jenis makanan khas seperti Danau Toba ini. “Karena itu, sayang kalau tidak mencicipi makanan khas itu. Kalau di Eropa ada Samlon, yang dimakan ala sushi, di Batak ada Naniura, yang juga fresh, tidak dimatangkan dengan api. Penasaran kan? Inilah produk budaya kuliner local yang sangat khas di Batak,” ujar Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI.
Kuliner, kata Arief Yahya, adalah salah satu cabang dari wisata berbasis budaya. Kuliner itu tidak bisa dipisahkan dari akar budayanya. Mengapa orang Batak menciptakan jenis makanan Naniura seperti itu, juga melalui perjalanan panjang yang cocok dengan karakter budaya setempat. Ada istilah, asam di gunung, garam di laut, berjumpa dalam belanga. “Perbedaan budaya itu selalu punya satu hal yang sama, salah satunya adalah musik dan kuliner. Enak dan nyaman itu universal,” kata Arief Yahya.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan