Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Muharam mengatakan kesenjangan pendapatan dan penguasaan kekayaan pada dua tahun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla semakin memburuk. Pemerintahan Jokowi belum mampu mengurangi kesenjangan ekonomi.
Ia merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan adanya tren penurusan kesenjangan pengeluaran. Dimana dalam laporannya BPS menyatakan adanya penurunan Gini Ratio. Hingga Maret 2016, Gini Ratio mengalami sedikit penurunan menjadi 0,397 dibanding September 2015 di level 0,402 dan Maret 2015 sebesar 0,408.
“Meski perkembangannya membaik, target Gini Ratio dalam APBNP 2016 sebesar 0,39 dan dalam RAPBN 2017 sebesar 0,38 belum meyakinkan dapat dicapai. Dibutuhkan kebijakan akselerasi untuk dapat mencapainya,” kata Ecky kepada wartawan, Senin (22/8).
Disampaikan, laporan Bank Dunia memberikan peringatan atas potensi terjadinya ledakan sosial yang diakibatkan dari ketimpangan yang semakin lebar. Dalam pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dalam satu dekade terakhir, telah terjadi dimana 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen aset uang dan properti nasional.
Tercatat sekitar 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 persen dari total kekayaan nasional. Dengan kata lain, dari 200 juta lebih penduduk Indonesia yang menikmati distribusi kue pembangunan tidak lebih dari 25 persen.
“Faktanya telah terjadi efek konsentrasi ke atas atau trickle-up effect dalam proses pembangunan selama ini. Pendapatan yang tercipta dalam perekonomian sebagian besar tidak dinikmati mayoritas rakyat,” jelas Ecky.
Berbagai kebijakan dan program dalam rangka mendorong perbaikan ekonomi yang berorientasi pada rakyat kecil menurutnya juga belum terlaksana dengan baik. Indikasinya terlihat dari masih tingginya inflasi di pedesaan, terutama pada bahan makanan.
Selanjutnya pada nilai tukar petani belum membaik secara signifikan dan ketiga minimnya realisasi kredit UMKM. Tercatat hanya 18 persen dari total kredit perbankan. Dan, terakhir atau keempat implementasi paket kebijakan pemerintah belum menyentuh golongan menengah ke bawah.
“Rakyat miskin semakin miskin karena 65 persen penghasilan mereka habis untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari. Dan rakyat yang mendekati miskin jatuh dalam kubangan kemiskinan,” ujarnya.
Ecky menambahkan, Bank Dunia pada 2015 mencatat laju peningkatan ketimpangan ekonomi di Indonesia termasuk paling tinggi di Asia Timur. Dalam hal distribusi aset Rasio Gini penguasaan lahan mencapai angka 0,72. Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada Rasio Gini pendapatan.
Sementara Badan Pertanahan Nasional mencatat 56 persen aset berupa tanah, properti, dan perkebunan dikuasai oleh sekitar 0,2 persen penduduk. Kesenjanganan ini disebutnya bisa menimbulkan kecemburuan dan ketidakpercayaan rakyat baik secara vertikal maupun horizontal dan berpotensi menimbulkan ledakan sosial.
“Rakyat yang terbelah akan mengancam kohesi sosial dan menghancurkan sendi-sendi bangunan kepercayaan sebuah negara-bangsa. Ketimpangan ekonomi yang kronis akan menjadi faktor pendorong revolusi sosial, politik, dan krisis ekonomi. Ini harus menjadi warning serius bagi kita semua,” tutup Ecky. (Soemitro)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid