Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menandaskan, dalam rencana holdingisasi, mestinya holding harus bisa membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) profesional dan transparan.
Untuk itu, menurut Sri, perusahaan yang akan dijadikan perusahaan BUMN induk holding haruslah perusahaan yang sehat dan transparan. Demikian disebutkan Menkeu saat raker dengan Komisi VI DPR, membahas wacana holding di Gedung DPR/MPR, Jakarta, ditulis Kamis (25/8).
“Jangan justru melindungi korporat yang sangat tidak efisien yang bahkan menyengsarakan banyak pihak,” tegas Menkeu.
Jika begitu, kata dia, pada akhirnya, masyarakat harus menanggung beban korporasi yang tidak efisien tersebut. “Sehingga BUMN itu rugi terus, minta tambahan modal terus, berdarah-darah terus,” ujar Sri Mulyani.
Bila dilihat dari rencana pembentukan holding energi yang saat ini tengah bergulir, komentar dia ini menyentil rencana pembentukan holding migas yang bentuknya adalah Pertamina mengakuisisi PGN.
Dengan tingkat efisiensi yang rendah, bukan hal yang bijaksana bila menjadikan Pertamina sebagai induk perusahaan milik negara di sektor migas. Sektor yang cukup vital bagi perekonomian Indonesia.
Sekedar catatan, kinerja keuangan Pertamian bisa dikatakan berdarah-darah. Utang yang menggunung dan limit utangnya sudah habis membuat keuangan Pertamina ‘ngos-ngosan’.
Holding migas ini salah satu cara untuk menambah aset untuk membuat utang baru. Bila tidak efisien maka hanya akan menambah utang-utang baru.
Hal senada pernah diungkapkan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri dalam paparan terbarunya terkait salah satu rencana pembentukan Holding BUMN yakni Holding BUMN Migas.
Menurut Faisal, dalam pembentukan holding migas, jangan sampai kinerja Pertamina yang belum transparan malah memengaruhi kinerja PGN.
“PGN merupakan BUMN yang tidak ada masalah, tingkat efisiensinya tinggi, dan ekternalitasnya tinggi. BUMN seperti ini jangan diganggu, jangan digabung dengan yang masih sakit atau yang bisnisnya merupakan substitusi,” kata Faisal belum lama ini.
Tidak efisiennya kinerja keuangan Pertamina juga bisa dilihat dari laporan keuangannya.
Meski membukukan pendapatan usaha yang luar biasa besar mencapai US$41,76 miliar, namun perolehan laba bersihnya hanya tercatat sebesar US$1,42 miliar.
Artinya, laba yang dicatatkan Pertamina hanya setara 3,4% dari pendapatannya. Ini jauh lebih kecil dibanding bunga deposito perbankan saat ini yang berada di kisaran 6%.
Kinerja terbalik alias lebih positif justru ditunjukkan perusahaan gas pelat merah, PGN yang mampu membukukan laba bersih sebesar US$401,2 juta di tahun 2015. Perolehan tersebut setara 13% dari pendapatan usaha yang sebesar US$3,07 miliar.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan
