Dirjen Migas, I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja saat mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VII DPR RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/3/2016). Raker tersebut membahas Peraturan Menteri (Permen) no 37 tahun 2015 tentang tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi, Permen no 19 tahun 2015 tentang pembelian tenaga listrik dari PLTA dengan kapasitas sampai 10 MW, Permen no 05 tahun 2016 tentang tata cara persyaratan pembelian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri dan membahas dana ketahanan energi. Aktual/Junaidi Mahbub

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah membenarkan akan melakukan penandatanganan kontrak bagi hasil (production sharing contract) untuk pengembangan Blok East Natuna pada September mendatang, namun ternyata dalam kontrak itu tidak secara keseluruhan, melainkan hanya untuk minyak bumi.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, I Gusti Nyoman Wiratmadja menjelaskan untuk pengembangan gas masih mengalami penundaan dengan pertimbangan masih membutuhkan pengkajian yang lebih matang atas tantangan kadar CO2 yang terlampau tinggi pada blok itu.

“Iya, ditandatangani bulan depan. Kan ada 2 struktur, ada AP (minyak) dan ada LP (gas). Jadi yang lebih detail yang AP, yang minyak. Yang LP masih menunggu hasil studi teknologi, marketing, review. Akhir 2017 akan selesai,” kata Wirat di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (26/8).

Sedangkan untuk pemberian split, belum ada keputusan dari pemerintah, namun Wirat mengaku telah menyodorkan berbagai opsi pilihan, hanya saja saat ini menunggu keputusan Menteri ESDM.

“Bagian negara ada opsi-opsinya. Nanti pimpinan yang memutuskan. Sekian persen, sekian persen, yang mana yang terbaik menurut pimpinan. Kita siapkan semua. Insentif untuk blok ini berlaku khusus karena ini kan penugasan, jelas. Jadi tidak dilelang umum, langsung ditugaskan. Pertamina silakan B to B PI-nya. Jadi kita tidak intervensi ke sana,” pungkasnya.

Sebabaimana diketahui bahwa Inisiatif untuk mengembangkan blok natuna merupakan keinginan dari pemerintah. Bahkan Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar dalam tiga tahun ke depan, blok ini dapat berproduksi.

Blok ini menjadi perhatian pemerintah karena belum juga berproduksi sejak dieksplorasi 1973 silam. Padahal, potensi yang ada di blok ini bisa empat kali lipat dari Blok Masela. Belum lagi wilayah blok tersebut juga tengah jadi sorotan lantaran jadi titik klaim China untuk Laut China Selatan.

Kementerian ESDM mencatat, cadangan gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) di Blok East Natuna mencapai 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf.

Sayangnya, kandungan karbon dioksida (CO2) yang tinggi, yakni sebesar 72 persen, jadi kendala lantaran teknologi yang digunakan berbiaya mahal.

PT Pertamina (Persero), Exxon Mobile Exxon, dan PTT Exploration and Production Pcl (PTT EP) Thailand ditunjuk sebagai konsorsium untuk melakukan studi pengembangan Blok East Natuna selama dua tahun hingga akhir tahun 2017.

(Dadang Sah)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan