Suasana Rapat Paripurna kedua pada Masa Persidangan I Tahun Sidang 2016-2017 di Ruang Paripurna Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8). Rapat tersebut membahas tentang pembahasan APBN Perubahan, penetapan anggota komisi dari masing-masing fraksi, pengambilan keputusan tingkat dua tentang UU Perlindungan Anak dan pelantikan dua anggota DPR Pergantian Antar Waktu (PAW). AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Koordinator Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia, Syamsuddin Alimsyah, menilai rencana Pimpinan DPR membuat Sekolah Parlemen sebagai langkah yang keliru dan membodohi masyarakat. Alangkah lebih baiknya jika pembenahan anggota ini diserahkan kepada masing-masing partai politik.

“Sebenarnya sudah kelihatan saat masa kampanye. Banyak di antara caleg yang tidak begitu paham dengan lembaga parlemen. Mereka banyak mengumbar janji seolah sangat cerdas dan tahu semua masalah,” terang Syamsuddin, Senin (29/8)

Sebagian besar anggota legislatif, menurutnya begitu dilantik langsung tak fokus terhadap janji dan kecerdasannya dalam mengatasi berbagai masalah. Mereka kemudian ramai-ramai menuntut perlunya dibimtek, studi banding bahkan perlu ESQ.

KOPEL Indonesia merasa miris melihat perilaku tersebut terulang dari tahun ke tahun tanpa pernah ada kesadaran untuk membenahinya secara tepat. Sekolah Parlemen, alih-alih meningkatkan kinerja, dikhawatirkan justru melahirkan korupsi baru.

Program sekolah parlemen akan memelihara prilaku koruptif bagi anggota DPR yang malas bersidang. Mereka akan lebih senang didaftar bersekolah tapi terima gaji termasuk uang lumpsum pelatihan dari pada bersidang di parlemen.

Seharusnya, lanjut Syamsuddin, jika ada niatan besar membenahi parlemen maka berangkayt dari dulunya. Yakni dari sistem rekrutmen partai yang selama ini mandek. Undang-undang partai politik seharusnya dimaksimalkan untuk mengatur syarat mengikat bagi calon legislatif.

Misalnya partai politik yang mencalonkan kadernya sebagai calon anggota legislatif harus melewati kaderisasi berjenjan atau terseleksi secara kapasitas. Bisa juga diatur melalui UU Pemilu terkait syarat caleg adalah lolos melalui jenjang kekaderan di partai politik.

Dengan begitu, dengan sendirinya parpol akan intens melakukan perkaderan sekaligus kegiatan peningkatan kapasitas kader. Bila tidak, maka sampai kapanpun persoalan kinerja DPR dan DPRD akan terus seperti sekarang ini bahkan akan semakin menurun.

Kondisi demikian, tambah Syamsuddin, akan mengancam keberlangsungan demokrasi karena masyarakat sebagai pemilih akan menjadi semakin apatis dan pragmatis. Parpol harus segera dibenahi sekaligus didorong bertanggungjawab secara penuh atas kualitas kader-kader yang diajukan maju menjadi anggota parlemen.

Disinggung bagaimana negara mensubsidi parpol melalui pos bantuan keuangan parpol dengan jumlah yang relatif cukup besar. Melalui APBN dan APBD, anggaran seharusnya diperuntukkan untuk melakukan pendidikan bagi kader termasuk di dalamnya adalah mempersiapkan kader yang siap, mumpuni bekerja bertugas saat terpilih menjadi wakil rakyat.

“Sayangnya, fakta dilapangan partai politik sekarang lebih senang main bajak kader dari pada melakukan perkaderan,” jelas dia.

Partai politik sudah terlalu banyak menikmati fasilitas negara. Partai juga selama ini juga memungut iuran kader melalui sistem potong gaji bagi kader yang terpilih menjadi anggota legislastif dengan berbagai alasan peruntukannya. Dan ini minim terpantau oleh publik.

“Perlu diketahui, negara selama ini memberikan gaji macam-macam dan fasilitas lainnya kepada DPR dan DPRD itu karena diharapkan bisa bekerja optimal menjalankan fungsi-fungsinya menyerap aspirasi di masyarakat. Harusnya parpol bertanggungjawab di sini,” demikian Syamsuddin.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby