Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (ilustrasi/aktual.com)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pertumbuhan ekonomi Indonesia periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2014 yang berada di kisaran 6% tidak dapat dibanggakan karena sangat ditentukan oleh harga-harga komoditi (perkebunan dan pertambangan) yang sedang tinggi, bukan dari penciptaan nilai tambah dari sumber daya komoditi-komoditi tersebut. Setelah harga-harga komoditi tersebut mengalami penurunan, sejak  di 2012, berangsur perekonomian kita pun mulai melambat. Menurut ekonom senior Rizal Ramli, perekonomian Indonesia tahun 2012-2013 tersebut telah masuk lampu kuning, yang ditandai dengan terjadinya “quatro (empat) defisit”: defisit transaksi berjalan, defisit neraca pembayaran, defisit neraca perdagangan, dan defisit anggaran belanja.

Maka, saat baru naik jadi Presiden tahun 2014 Jokowi memang mewarisi situasi perekonomian yang kurang baik dari pendahulunya, SBY. “Kapal” Pemerintahan Jokowi terpaksa berlabuh di tengah situasi perkekonomian dunia yang juga kurang baik: dampak krisis 2008 masih terasa, permintaan pasar dunia terhadap berbagai komoditi utama seperti pertambangan dan perkebunan jatuh. Yang paling dramatis adalah seperti pada kasus jatuhnya harga Minyak Bumi. Berdasarkan simulasi yang kami lakukan, dari jatuhnya harga komoditi Minyak Bumi saja terjadi sepanjang 2016 ikut menyumbang pengurangan Pendapatan Negara sebesar Rp 97,5 triliun, pengurangan penerimaan perpajakan sebesar Rp 20 triliun, pengurangan penerimaan bukan pajak sebesar Rp77,5 triliun, dan pembengkakan defisit anggaran sebesar Rp25 triliun.

Maka wajar bila dari 2014 ke 2015 kabinet menjadi terseok-seok, terlebih para “nahkoda” di Tim Perekonomian banyak salah perhitungan (atau masih kuatnya mental ABS? di mana Revolusi Mental..). Deregulasi, mengurangi peraturan, perizinan, memang akan berdampak, tapi tidak dalam jangka pendek (6 bulan-12 bulan) tapi baru akan terasa pada jangka menengah hingga panjang (>3 tahun).

Kini, syukurlah pertumbuhan ekonomi kita memang agak meningkat. Setelah sempat terpleset ke posisi 4,92% pada kuartal I 2016 (dari kuartal IV 2015 di posisi 5,04%), kini pada kuartal II 2016 pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (yoy) kita telah sedikit meningkat ke 5,18%. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), dari kuartal I 2016 ke kuartal II 2016 sendiri terjadi pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (harga berlaku) sebesar 4,02%  dari sejumlah Rp 2.942 triliun di kuartal I 2016 menjadi sejumlah Rp 3.086 triliun di kuartal II 2016. Hanya memang di beberapa indikator moneter yang berhubungan dengan daya beli rakyat, seperti tingkat kredit dan tabungan masih belum menunjukkan perbaikan yang berarti.

Tingkat kredit masih sangat rendah, berkisar di 0,5%, padahal bila kondisi perekonomian rakyat benar membaik pastilah tingkat kredit akan berada di level 13-15%. Jadi ekonomi bertumbuh tapi daya beli rakyat tidak membaik. Ya, memperbaiki daya beli rakyat adalah tugas yang paling penting dari Pemerintah, sebaiknya jangan abai karena dapat membawa malapetaka. Semoga niat Menko Perekonomian Darmin Nasution menurunkan harga rumah hingga 20% dapat berguna, toh rakyatnya tetap tidak mampu beli.

Sebenarnya yang perlu dilanjutkan adalah VISI perubahan paradigma dalam pengelolaan Sumber Daya, seperti yang telah dicanangkan oleh Jokowi Maret 2016 (pasca geger Blok Masela). Dengan membuat keputusan untuk ditingkatkannya nilai tambah komoditi gas dari perut Masela menjadi produk-produk petrokimia dan sebagai bahan bakar untuk industri-industri lain di sekitar Maluku, maka Jokowi telah mencanangkan apa yang tidak pernah dikerjakan oleh SBY selama 10 tahun. Meskipun mungkin Jokowi sudah tidak lagi menjabat saat proyek Masela ini selesai terbangun (2024-2026), tapi namanya akan dikenang sebagai Presiden yang memiliki keberpihakan kepada rakyat Maluku dan Indonesia Timur, dan Indonesia secara keseluruhan.

Mengapa harus industri petrokimia? Karena sederhana saja, bagi proyek industri petrokimia, jatuhnya harga Minyak Dunia malah membantu mengurangi komponen biaya bahan baku mereka. Semakin murah harga minyak, maka semakin kompetitif pula nanti produk industri petrokimia. Apalagi bersamaan dengan jatuhnya harga minyak terjadi overproduksi/oversupply baja di China, yang juga mengakibatkan turunnya biaya konstruksi proyek pembangunan industri di Masela (turunnya harga proyek kliang OLNG sudah dibuktikan oleh mantan Menteri ESDM Archandra Tahar). Hanya mungkin dalam hal ini SBY benar, saat menuduh Pemerintah Jokowi hanya retorika. Pengembangan Blok Masela memang belum dimulai, padahal berdasar perhitungan dapat menyerap lapangan kerja hingga 350 ribu jiwa. Apalagi pembantu Jokowi yang berdiri terdepan menjadi bumper dalam perdebatan Geger Blok Masela juga sudah tidak di Kabinet.

Sosok ekonom mantan pembantu Jokowi tersebut, yang terdepan menghadap kekuatan anti Trisakti dalam perdebatan Geger Blok Masela,  juga menyarankan agar dilakukan penilaian ulang (revaluasi) aset-aset BUMN kita. Sempat menyelip di Paket Kebijakan Ekonomi Nomer Lima, asset revaluation, meskipun hanya berjalan di sebagian (parsial) BUMN dan sebentar saja (November 2015-April 2016), telah berhasil menambahkan peningkatan aset BUMN hingga Rp 800-an triliun dan memasukkan penerimaan pajak untuk pendapatan negara sebesar Rp 20 triliun. Nilai Rp 20 triliun ini harus diakui masih lebih besar dari penerimaan Tax Amnesty  yang baru mencapai Rp 2,11 triliun per hari ini (29/8/2016).

Sebenarnya bila revaluasi aset dilakukan secara total menyeluruh bagi seluruh BUMN, diperkirakan akan terjadi penambahan asset BUMN hingga lebih dari Rp2.500 triliun dan berpeluang memasukkan tambahan penerimaan pajak sekitar Rp 50-an triliun lagi. Bila ditotal dengan penerimaan pajak revaluasi aset tahap yang sudah berjalan sebesar Rp 20 triliun, maka total penerimaan pajak dari kebijakan revaluasi aset menjadi Rp 70-an triliun. Dalam perjalanannya, revaluasi asset akan banyak menyerap tenaga kerja di sektor keuangan, hukum, dsb sekaligus menjadikan perusahaan-perusahaan investasi sebagai corong kampanye ke dunia internasional tentang menggeliatnya perekonomian Indonesia. Jadi bukan kita yang meminta investor datang, tapi para perusahaan investasi inilah yang akan meyakinkan investor untuk datang.

Aspek lain yang tak kalah penting dari kebijakan revaluasi aset adalah meningkatkan kemampuan daya ungkit(leverage) BUMN. Diperkirakan, dengan nilai aset yang sebesar itu pasar uang dapat mengucurkan, kepada BUMN-BUMN, tambahan modal kerja hingga US$ 100 miliar (atau Rp 1.300 triliun dengan kurs sekarang!). Apalagi saat ini harga uang” sedang murah-murahnya di pasar keuangan dunia. Fenomena harga uang” murah ini terjadi akibat kebijakan (sering diistilahkan sebagai quantitative easing/QE) di negara-negara maju “pasca krisis finansial global 2008” yang melakukan pencetakan uang secara masif dan mematok suku bunga di bank sentral mereka pada level 0 (nol) persen seperti di The Fed Amerika Serikat, bahkan ada yang mematok negatif seperti di Jepang dan sebagian negara Eropa.

BUMN-BUMN akan memiliki dana segar untuk menyelesaikan seluruh mimpi proyek infrastruktur Jokowi di berbagai pulau di Indonesia “yang kabarnya” kini terancam mangkrak. Dana tersebut bukan berasal penyertaan modal negara yang membebani APBN. Resiko utang yang ditanggung oleh BUMN adalah sebesar modal yang disertakan. Jadi bila terjadi gagal bayar terhadap utang dari pasar uang, maka yang dipailitkan adalah BUMN, sehingga kerugian negara hanya sebesar nilai modal yang disertakan bila para pembeli obligasi (pemberi utang) menuntut secara hukum di pengadilan di Amerika Serikat. Akan jauh berbeda bila menggunakan metode Sri Mulyani, yaitu dengan jalan pemerintah lah yang menerbitkan bond (surat utang). Bila kelak terjadi gagal bayar terhadap utang ini, maka Pemerintah Indonesia dapat dipailitkan di pengadilan di Amerika Serikat sana.

Ngomong-ngomong tentang utang luar negeri jadi ingat Sri Mulyani, yang namanya sudah mulai digadang-gadang untuk menjadi pendamping Jokowi nyapres di 2019. Keberadaan Sri Mulyani adalah jaminan bahwa pada saat darurat, pada saat perlu untuk mendapatkan utangan dana segar menambal defisit (yang nyaris melampui batas yang diizinkan perundangan), Bank Dunia akan kucurkan utang sebesar US$ 10-15 miliar (Rp 1.300 triliun-Rp 1.900 triliun).

Meskipun tentu seperti biasa Bank Dunia akan meminta berbagai persyaratan yang merugikan kepentingan rakyat dan bangsa kelak, tapi menguntungkan sistem kapitalisme global. Hampir pasti, Sri Mulyani –yang juga mantan Pejabat Bank Dunia– tidak akan memperjuangkan penghilangan syarat-syarat yang menguntungkan rakyat dan bangsa, tapi dapat mengurangi keuntungan bagi orang-orang terkaya di dunia yang berada di pasar uang.

Bukankah sudah pernah terbukti di masa lalu tentang loyalitas Sri Mulyani bagi para orang kaya tersebut, sehingga pada dirinya dianugerahkan sebagai menteri keuangan terbaik di Asia tahun 2006 oleh  Emerging Markets dan sebagai orang berpengaruh urutan ke-23 di dunia versi majalah Forbes. Selaku Menteri Keuangan di Kabinet SBY periode 2005-2010, Sri Mulyani sangat baik” kepada para orang kaya pemegang surat utang/bond yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia. Bagi kaum 1% (istilah gerakan Occupy Wallstreet, menyimbolkan para kapitalis terkaya) tersebut, Sri Mulyani memberikan imbal hasil (yield) yang terlampau tinggi. Lebih mahal terutama bila dibandingkan imbal hasil yang diberikan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, dan bahkan masih lebih mahal dari negara-negara yang sedang konflik di Timur Tengah. Artinya, Sri Mulyani tega memasang murah harga diri Indonesia, kita harus membayar bunga lebih banyak dari yang dibayar negara tetangga dan negara konflik di Timteng yang ratingnya di bawah Indonesia.

Jangan cuci tangan lah! Sok menyalahkan rezim pemerintahan SBY bila ternyata tahun depan kita harus sediakan Rp 210 triliun hanya untuk membayar bunga utang. Dari Rp 210 triliun tersebut, pasti ada sumbangan dari masa Sri Mulyani menjadi menteri keuangan terbaik” yang juga di era SBY. Berdasarkan data Kemenkeu (Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko/DJPPR), sejak 2005 hingga 2010 terdapat 16 macam obligasi  surat utang/bond global yang diterbitkan Sri Mulyani dengan nilai pinjaman, tingkat kupon, dan tingkat bunga yang bervariasi. Beberapa di antaranya memang telah jatuh tempo sebelum 2017. Sisanya, bond yang masih belum jatuh tempo masih harus dibayarkan pada tahun 2017 kupon sebesar Rp 23 triliun (US$ 1,8 miliar) atau lebih dari 10% total pembayaran bunga utang luar negeri pemerintah pada tahun tersebut. Ini belum ditambahkan dengan utang-utang pemerintah di luar surat berharga negara, seperti utang bilateral atau multilateral.

Ditulis oleh:
Pengamat Ekonomi Politik, Gede Sandra