Puluhan aktivis FITRA menggelar aksi menolak pengampunan pengemplang pajak (Tax Amnesty) didepan Gedung KPK di Jakarta, Selasa (21/6/2016). FITRA juga meminta KPK mengawasi proses pembahasan UU Tax Amnesty yang dinilai rawan transaksional.
Jakarta, Aktual.com – Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) memberikan enam permasalahan dasar dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak sehingga Undang-Undang tersebut layak dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam konferensi pers bersama Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (31/8), Manajer Advokasi dan Investigasi FITRA Apung Widadi membeberkan enam alasan dimaksud.

Pertama, secara filosofis dasar pembentukan dan kebijakan dari pengampunan pajak cacat secara konstitusional. Dasar argumentasi RUU Pengampunan Pajak sebagaimana diatur Pasal 23 A, bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 23 dan Pasal 23 A tentang pengelolaan APBN dan Pemungutan Pajak.

“Pemungutan pajak dalam proses APBN sudah ada sistem hukumnya yang bersifat memaksa bukan mengampuni,” terang Apung merujuk Konstitusi UUD 1945.

Semestinya, revisi UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) revisi Nomor 16/2009 perlu didahulukan dari RUU Pengampunan Pajak. Secara substansi, RUU Pengampunan Pajak juga mendegradasi UU KUP terkait kewenangan dan penyederhanaan sistem pemungutan pajak.

Selain bertentangan dengan UUD 1945, RUU Pengampunan Pajak juga bertentangan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Catatan kedua, pengampunan pajak adalah kebijakan yang tidak adil untuk usaha mikro kecil dan menengah. Hasil survei peneliti manajemen Universitas Indonesia Rofikoh Rohim dengan FITRA, pengampunan pajak akan bernasib sama dengan tahun 1984 di era Soeharto karena minimnya informasi, keterbukaan dan sosialisasi.

Catatan ketiga, target asumsi khayalan sebesar Rp165 triliun tidak akan tercapai dan justru akan  menambah skala defisit APBN 2017. Dari simulasi FITRA, jika dana konglomerat diluar negeri mencapai Rp8.000-10.000 triliun dengan verifikasi data fix, maka maksimal dana yang akan masuk ke APBN hanya Rp50 triliun.

Bank Indonesia bahkan telah memprediksi penerimaan negara dari tax amnesty hanya mencapai Rp53,4 triliun. Dengan kata lain, angka Rp165 triliun dari tax amnesty hanyalah khayalan. Buktinya saat ini maksimal dana hanya Rp2,6 triliun.

Catatan keempat, tax amnesty merupakan karpet merah untuk konglomerat pengemplang pajak. Buktinya pengampunan pajak bukan menambal defisit melainkan memutar roda bisnis konglomerat. Sebab jika melihat trend dana yang masuk ke APBN kecil dan adanya kenaikan investasi di bursa saham dengan kapitalisasi nilai puluhan triliun, maka jelas tujuan utara Presiden hanya mendorong aliran dana masuk ke dalam negeri.

Hal ini dikarenakan pemerintah mengalami keterbatasan dalam pembiayaan infrastruktur seperti proyek 35.000 MW, proyek kereta cepat, ekplorasi migas dan property khususnya reklamasi di Pantai Utara Jakarta.

“Presiden mengambil langkah tax amnesty untuk tujuan menguatkan rezim developmentalism,” jelas Apung.

Catatan kelima, tax amnesty kontraproduktif dengan gerakan antikorupsi. Keberadaan UU Pengampunan Pajak hanya mendelegitimasi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam prakteknya tidak ada verifikasi asal harta, apakah dari korupsi, illegal logging, narkoba dan lain-lain, semuanya dianggap sama.

Hal itu terindikasi kuat untuk pencucian uang. Terlebih petugas jika membocorkan data pemohon pengampunan pajak diancam diancam dibunuh melalui ancaman pidana.

Catatan keenam, tax amnesty adalah jalan buntu kreatifitas pemerintah atas upaya mencari alternatif pendapatan negara dan bukti lemahnya peran negara pada piutang BUMN dan BLBI. Hingga 2015, FITRA mencatat negara masih mempunyai piutang atas deviden BUMN sebesar Rp 656 triliun dari tahun 2010-2015. Sementara piutang pajak BUMN sebesar Rp 70,5 triliun.

Bahkan, khusus untuk kasus BLBI yaitu piutang dari 20 Bank Dalam Likuidasi Rp 10,4 triliun dan piutang bruto eks BPPN Rp 76,8 triliun. Hal ini sangat jelas membenani negara karena per tahun dari kasus BLBI, Indonesia masih membayar obligasi rekap sebesar Rp 60 triliun per tahun hingga jatuh tempo hingga tahun 204.

“Sungguh menyengsarakan,” tutup Apung.

(Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka