Mantan Menko Maritim Rizal Ramli (kiri) bersama Sejarahwan Jose Rijal (kana) saat melakukan kunjungan ke Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, di Jakarta, Jumat (26/8/2016). Dalam kunjungannya Rizal Ramli meminta agar pemprov DKI lebih memperhatikan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin tersebut.

Jakarta, Aktual.com – Beda dengan pencaguban Yusril Ihza Mahendra yang sejak awal sudah terbaca hanya sekadar main-main, pencaguban Rizal Ramli terlihat lebih serius. Sejak dicopot dari kabinet Kerja Jokowi, Rizal telah bergerilya ke kantong-kantong warga DKI. Dukungan demi dukungan dari sejumlah elemen masyarakat pun dengan cepat didapatkannya. Soal tiket parpol, ternyata Rizal sudah masuk dalam radar Gerindra.

Masalahnya, seberapa besar peluang Rizal untuk memenangi Pilgub DKI 2017 ini? Bukankah, kata sejumlah rilis survei menyebut tingkat elektabilitasnya rendah. Dengan rendahnya elektabilitas yang dimilikinya itu, apa mungkin Rizal dapat mengalahkan Ahok yang menurut sejumlah rilis survei berelektabilitas tinggi, bahkan di atas 50%?

Jawaban singkatnya, sangat mungkin. Elektabilitas tidak bisa dibaca sepotong-sepotong. Elektabilitas harus dibaca sebagai sebuah tren, apakah meningkat ataukah menurun. Di samping itu, sampai saat ini hanya Ahok yang sudah 90% dipastikan bakal maju. Selain Ahok, belum ada seorang pun yang dipastikan akan nyagub. Dengan fakta ini wajar saja kalau elektabilitas Ahok mengungguli figur-figur lainnya.

Kekuatan calon petahana dengan tingkat elektabilitas tinggi belum tentu sulit digoyang. Jangankan digoyang, dikalahkan pun sangat mungkin. Kemenangan Jokowi atas cagub petahana Foke dalam Pilgub DKI 2012 bisa dijadikan contohnya. Demikian juga dengan kemenangan Ganjar Pranowo atas Bibit Waluyo dalam Pilgub Jateng 2013. Padahal menurut sejumlah survei elektabilitas kedua kader PDIP itu jauh di bawah calon petahana. Sementara, sekalipun kalah, Rieke Dyah Pitaloka, Effendi Simbolon, dan Puspayoga mampu meroketkan tingkat elektabilitasnya. Tidak tanggung-tanggung, tingkat elektabilitas mereka yang pada awalnya berada di posisi rendah melesat hingga hampir mengalahkan pemenang pemilu di daerahnya masing-masing.

Jadi jelas, tingkat elektabilitas yang tinggi di awal masa pemilu bukanlah jaminan untuk dapat meraih kemenangan. Kalau diperhatikan, baik Jokowi, Ganjar, Rieke, dan lainnya terjun ke pilkada dengan branding yang bertentangan dengan calon petahana. Jokowi, misalnya, tampil sebagai figur pemimpin yang lebih mengedepankan dialog guna mencari solusi bersama. Di sini sisi kebapakan Jokowi lebih ditonjolkan ketimbang sisi kepemimpinannya. Itulah yang menjadi pembeda antara Jokowi dengan Foke yang terkesan elitis.

Lantas, Bagaimana dengan Rizal?
Rizal memiliki rekam jejak yang membuat dirinya menempati posisi bertentangan dengan Ahok, yaitu dalam sengketa proyek reklamasi. Gubernur Ahok ngotot meneruskan mega proyek itu, sebaliknya Rizal keukeuh menghentikannya.

Dalam soal sengketa reklamasi ini, Rizal mendapatkan keuntungan besar. Karena dalam sengketa ini timbul pengotakan antara nelayan dan penduduk pesisir pantai Jakarta yang mewakili wong cilik melawan pengembang raksasa yang menyimbolkan penguasa. Dan, Rizal berada di posisi wong cilik. Sementara Ahok yang mengaku sebagai Gubernur Agung Podomoro menempati posisi penguasa.

Jika PDIP kemudian memutuskan mendukung Ahok, dengan posisi Rizal yang berada di kotak wong alit, klaim PDIP yang mengaku sebagai partai wong cilik otomatis rontok dengan sendirinya. Besar kemungkinan Rizal dapat merebut suara dari kantong-kantong pendukung PDIP.

Lebih jauh lagi, pencopotan Rizal sebagai menko oleh Jokowi menimbulkan spekulasi yang mengaitkannya dengan perseteruan antara Rizal melawan Ahok dalam soal reklamasi. Tentu saja, Jokowi diopinikan sebagai pembela Ahok yang otomatis juga lebih membela kepentingan pengembang raksasa ketimbang nasib wong cilik. Dengan demikian, pencalonan Rizal merupakan investasi politik tersendiri bagi Gerindra dan Prabowo untuk menghadapi pemilu 2017.

Dengan rekam jejaknya itu pula, yang memposisikan Rizal sebagai pelawan ‘alamiah’ Ahok. Rizal jauh berbeda dengan Sandiaga Uno yang ujug-ujug muncul sebagai pelawan Ahok. Rizal tidak perlu membentuk crisis center untuk menunjukkan dirinya menentang kebijakan Ahok. Lewat rekam jejaknya itu, Rizal sudah memberikan bukti, bukan sekadar ucapan pemanis bibir.

Dibanding Sandi, jelas peluang Rizal untuk mengalahkan Ahok jauh lebih besar. Rizal masih mempunyai kesempatan untuk meningkatkan elektabilitasnya, ketimbang Sandi yang sudah satu tahun menggelar serentetan sosialisasi tapi elektabilitasnya masih juga jalan di tempat.

Di samping itu tidak terlibat dalam kasus kriminal. Ini salah satu yang memastikan Rizal lebih baik ketimbang Sandi yang diduga terlilit sejumlah kasus kriminal, mulai dari tindak pidana korupsi sampai pelecehan seksual. Dengan dugaan keterlibatannya dalam sejumlah kasus kriminal tersebut, Sandi menjadi kartu mati. Dipasangkan dengan siapapun, entah itu sebagai calon DKI 1 atau pun DKI 2, Sandi akan menjadi beban. Sebaliknya, Rizal tidak memiliki beban yang dapat menghambat kemenangannya.

Rizal memang sosok kontroversial. Tetapi, dalam setiap kontroversi yang ditimbulkannya, Rizal berada di posisi positif. Contohnya, saat ia berseteru dengan Sudirman Said. Sebaliknya, karena sejumlah ulahnya, Sandi selama kurang dari satu bulan ini berhasil menciptakan kecaman untuk dirinya, Prabowo, dan juga Gerindra.

Rizal bukan politisi kemarin sore. Ia telah banyak makan asam garam dunia politik tanah air. Ini juga yang menunjukkan ia berbeda dengan Sandi yang masih saja mempertontonkan keluguannya. Dengan tanpa banyak berpikir atau bahkan tanpa berpikir, Sandi menayangkan video yang merekam pidato Prabowo saat mengucapkan, “Yang tidak dukung Sandiaga Uno antek asing.” Terakhir, dengan informasi hoax, Sandi menuding Brimob mengistimewakan Ahok dengan menugaskan 200 personel untuk mengawal Ahok.

Dari sejumlah perbandingan kecil di atas, jelas sosok Rizal lebih pantas dicalonkan ketimbang Sandi. Jika Gerindra tidak segera mengikatnya, PAN, PKS, dan PPP akan lebih dulu menggaetnya. Dan, kemungkinan besar Demokrat akan bergabung. Kalau keempat parpol tersebut mendukung Rizal, maka Gerindra dan PKB mau tidak mau ikut bergabung, mendukung siapa pun jagoan PDIP, kalau PDIP mencalonkan kadernya sendiri, mendukung Ahok, atau netral.

Masalahnya, ucapan ‘talak’ Prabowo yang mengatakan, “Yang tidak mendukung Sandiaga Uno antek asing” sudah menyebar luas. Kalau Prabowo menarik lagi ucapannya sendiri, bisa dipastikan ia akan menjadi bulan-bulanan.

Ditulis Oleh:
Gatot Swandito

Sumber