Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman meminta pemerintah mengkaji secara matang dan membangun sistem pengawasan yang ketat atas rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi di hulu migas.
Selama ini kata Yusri, skema bagi hasilnya minyak sebesar 85 : 15, skema ini direncanakan akan diubah menjadi kisaran 60 : 40 atau lebih fleksibel lagi daripada itu menyesuaikan tantangan kesulitan ladang minyak yang dihadapi oleh K3S. Upaya ini merupakan kebijakan fiskal pemerintah untuk merangsang gairah bisnis minyak di sektor hulu untuk menjaga ketahanan energi nasional.
Namun yang harus diingat kata Yusri, dengan konsep bagi hasil yang sekarang saja Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tidak berimbang atau lebih kecil daripada cost recovery yang harus ditanggung pemerintah untuk K3S, hal ini bisa dilihat dari data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tahun 2015.
“Berdasarkan keterangan Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi pada rilis awal tahun 2016 , realisasi PNBP Migas hingga akhir tahun 2015 diprediksi hanya akan sebesar USD12,25 miliar atau 81,72 persen dari target APBNP 2015. Sedangkan cost recovery diperkirakan mencapai USD13,82 miliar, sehingga Negara tekor sebesar USD 1,57 miliar atau setara Rp 20 triliun , dan fakta mencatat sejarah selama SKKMigas didirikan oleh UU Migas nomor 22 tahun 2001,” katanya di Jakarta, Sabtu (10/9).
Dia mengaku tidak mempermasalahkan jika pembagian hasil produksi migas disesuaikan dengan kesulitan lapangan, namun tegasnya jika sitem pengawasan yang tidak transparan dan tegas, celah ini akan dimanfaatkan atau disalahgunakan oleh oknum pejabat migas yang ‘bermain mata’ dengan K3S.
“Jangan sampe perubahan PP 77 Tahun 2010 secara terburu buru dengan dibuat alasan yang indah supaya memacu aktifitas di hulu untuk pertumbuhan ekonomi, akhirnya kita hanya dapat ampasnya saja atau penyakitnya. Karena faktanya permainan mark up atau korupsi itulah yang sudah terbukti membuat sektor migas kita memble,” ujarnya.
Apalagi baru-baru ini, sidir Yusri, anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi pada 14 April 2016 telah merilis praktik penggelembungan besaran cost recovery di sektor hulu migas dilakukan secara sengaja dan berulang oleh tujuh K3S di enam wilayah kerja migas sejak beberapa tahun lalu.
Seperti diketahui, dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2015 BPK menemukan adanya dugaan mark up sekitar Rp 4 triliun dari pelaporan cost recovery yang disodorkan tujuh K3S. Berangkat dari hal tersebut, Achsanul mengancam akan membawa praktik mark up cost recovery ke jalur hukum. Ancaman sendiri dimaksudkan agar praktik semacam ini tak berulang.
Adapun Tujuh wilayah kerja yang dimaksud meliputi:
1. Blok South Natuna Sea “B” yang dikelola oleh ConocoPhillips Indonesia Inc. Ltd.
2. Blok Corridor yang digarap ConocoPhillips (Grissik) Ltd.
3.Blok Rokan yang dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia.
4. Blok Eks Pertamina yang dioperatori PT Pertamina EP.
5. Blok South East Sumatra yang digarap CNOOC SES LTD.
6. Blok Mahakam yang dikelola Total E &P Indonesie dan INPEX Corporation.
7. Blok Natuna Sea A kelolaan Premier Oil Natuna Sea B.V.
(Dadangsah)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka