Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Joko Widodo disarankan belajar dari pemerintahan Presiden Soeharto dalam menjalankan program pengampunan pajak atau tax amnesty.

Disampaikan mantan Menteri Keuangan di ujung Orde Baru, Fuad Bawazier, program semacam tax amnesty pernah dilakukan di tahun 1984. Saat itu sukses, tanpa kegaduhan dari para wajib pajak (WP) seperti yang terjadi sekarang. Apa sebab? Begini penjelasan Fuad.

Tutur dia, pemberlakuan tax amnesty saat itu objek dan subjek pengampunannya tegas dan jelas. Yakni untuk menghimpun dana masyarakat atas penghasilan dan kekayaan agar masuk perbankan. Pemerintah cukup menetapkan kebijakan, tanpa sampai mengusut asal-usul dana deposito/tabungan. Pembayaran pajaknya pun dipisah, memakai formulir pajak penghasilan dan pajak kekayaan.

Objeknya juga jelas, yaitu selisih kekayaan bersih menurut SPT Pajak Kekayaan 1984 dengan jumlah kekayaan menurut Kepres No 26 Tahun 1984 itu. Waktu itu, PKk (Pajak Kekayaan) masih ada. “Sekarang mungkin orang makin bingung karena PKk sudah dihapus,” ujar mantan Dirjen Pajak itu, seperti dalam tulisan yang diterima Aktual.com, di Jakarta, Rabu (14/9).

Selain itu, tutur Fuad, seluruh pejabat negara mulai Presiden Soeharto, Menteri Keuangan, hingga pegawai negeri sipil (PNS) level Eselon V pun ikut program tax amnesty. Sehingga para WP pun ramai-ramai mengajukan pengampunan pajaknya. Padahal, saat itu tax amnesty hanya diatur Keppres No 26 Tahun 1984. “Tapi berjalan sukses. Sedangkan sekarang ini? Jujur saja saya tidak bisa mengerti maunya pemerintah ini apa?” kata dia.

Fuad pun membeberkan penyebab ‘melempemnya’ tax amnesty Pemerintahan Jokowi.

Selain tidak adanya contoh langsung dari Presiden Jokowi dan jajaran di pemerintahannya, tax amnesty kali ini juga dinilainya tidak fokus. Yakni untuk menyasar Wajib Pajak kelas kakap untuk repatriasi dana, tapi malah ikut menyasar WP ‘kelas gurem’. Sedangkan objek tax amnesty, menurut dia, adalah selisih kekayaan yang ada dengan daftar kekayaan cfm SPT PPh 2015.

“Itulah salah satu penyebab kerancuan dan keamatiran proses TA saat ini. Sehingga, WP-WP besar bisa jadi akan sedikit untuk mengikuti TA,” pungkas Fuad.

Sambung dia, jika tujuan tax amnesty saat ini spesifik mendatangkan modal atau repatriasi, semestinya cukup kebijakan saja. “Tanpa harus ada pengusutan asal-usul dana modal usaha segala,” kata dia.

Menurut Fuad, kegagalan pemerintah dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai dan policy yang semestinya digunakan itulah yang jadi penyebab ‘babak belurnya’ pemberlakuan tax amnesty saat ini. Babak belur yang dia maksud, baik dari sisi keresahan dan kebingungan yang terjadi, maupun seretnya target penerimaan yakni Rp 165 triliun. “Untuk itu kalau mau tax amnesty seperti tahun 1984, cara-cara di era Orba itu bisa ditiru,” kata dia. (Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh: