Menko Perekonomian Darmin Nasution (kanan) didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung (kiri) memaparkan Paket Kebijakan Ekonomi Tahap XI di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (29/3). Paket kebijakan ekonomi ini meliputi empat hal, yakni kredit usaha rakyat berorientasi ekspor, dana investasi real estate, pengembalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan dan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengingatkan pentingnya sistem pelatihan dan pendidikan vokasional untuk penyediaan tenaga kerja terampil yang bisa bersaing di level regional.

“Kita perlu menggerakkan pemerintah dan dunia usaha untuk kerja sama melahirkan sistem pelatihan dan pendidikan vokasional,” kata Darmin seusai memimpin rapat koordinasi mengenai pendidikan dan pelatihan vokasional di Jakarta, Senin.

Darmin menjelaskan saat ini sistem pelatihan dan pendidikan vokasional sangat mendesak untuk menjadi program nasional agar pemenuhan tenaga kerja terampil yang bersertifikat dapat tercapai.

Untuk itu, sangat penting membangun sistem standar kompetensi yang memadai bagi tenaga kerja melalui sinergi empat faktor utama yakni kelembagaan, aturan main, kinerja dan kriteria.

Salah satu kendala dalam penyediaan tenaga kerja adalah kementerian/lembaga yang belum memiliki metode uji yang sama meski beberapa diantaranya telah memiliki lembaga akreditasi.

“Kelembagaannya sebenarnya sudah ada, namun perlu ada beberapa penyempurnaan,” jelas Darmin.

Padahal, Darmin menegaskan penyediaan tenaga kerja terampil yang berkualitas sangat dibutuhkan pada era globalisasi ekonomi seperti sekarang.

Misalnya, untuk pasar Masyarakat Ekonomi ASEAN, terdapat delapan profesi yang bisa menjadi rebutan yaitu insinyur, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter, dokter gigi, juru ukur (surveyor), dan perawat.

“Sertifikasi dan standar kompetensi itu diperlukan agar mereka juga bisa bekerja di negara lain,” kata Darmin.

Darmin menilai salah satu kebutuhan tenaga terampil yang mendesak adalah penyediaan juru ukur non-PNS yang berkualifikasi untuk mendorong proses sertifikasi lahan.

“Di Indonesia, tanah yang bersertifikat baru sekitar 50 persen. Kalau di kota besar seperti Jakarta mungkin sudah mencapai 90 persen, tapi di pedesaan baru sekitar 30 sampai 35 persen,” ujarnya.

Data Kementerian ATR/BPN menyatakan kebutuhan tenaga surveyor untuk tanah prona sebanyak 5000 orang, untuk program percepatan (quick wins) 1.098 orang, dan reforma agraria 700 orang.

Namun, tenaga juru ukur PNS yang tersedia baru 2676 orang dan juru ukur swasta sebanyak 2723 orang, sehingga masih ada kekurangan tenaga surveyor sekitar 1399 orang.

Selain itu, sektor lain yang juga membutuhkan tenaga terampil adalah proyek kelistrikan untuk pencapaian target pembangunan pembangkit listrik 35 ribu Megawatt.

Saat ini diperkirakan, kebutuhan tenaga kerja langsung di sektor kelistrikan mencapai sekitar 650 ribu orang dan tenaga kerja tidak langsung sebesar tiga juta orang.

Untuk pelatihan vokasional di bidang kelistrikan ini, Darmin menyatakan sudah menjalin komunikasi dengan pihak Jerman yang akan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia.

Secara keseluruhan, untuk mewujudkan hal tersebut, Darmin memastikan pemerintah segera membentuk komite nasional untuk merumuskan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).(Ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid