Jakarta, Aktual.com – Lembaga nonpemerintah Greenpeace Indonesia memperhitungkan kerugian ekonomi dampak kesehatan dari total PLTU yang telah dibangun dan yang akan dibangun mencapai Rp351 triliun per tahun.
Angka tersebut lebih tinggi dari alokasi APBN 2016 untuk sektor kesehatan yaitu Rp110 triliun per tahun.
“Selisih dari dana kesehatan itu tidak ditanggung oleh pemerintah, melainkan masyarakat sendiri,” kata Kepala Kampanye Iklim dan Energi Hindun Mulaika di Jakarta, Rabu (21/9).
Adanya PLTU batubara mengakibatkan polusi udara dan berdampak pada kesehatan seperti kanker paru-patu, stroke, penyakit jantung, penyakit pernapasan kronis dan infeksi saluran pernapasan akut.
Tidak hanya itu, angka kematian dini juga ikut meningkat, kematian dini adalah di mana penduduknya meninggal di bawah usia rata-rata.
“Total kematian dini di Indonesia saat ini adalah 6.500 orang, namun kalau proyek PLTU terus dilanjutkan kematian dini yang akan datang bisa mencapai 22.200 orang ,” kata dia.
Badan Energi Internasional mengungkapkan bahan bakar fosil batubara yang menyumbang 44 persen emisi CO2 global, pembakaran batubara juga sumber terbesar emisi gas rumah kaca .
Batubara yang dibakar juga memancarkan sejumlah polutan yang berbahaya bagi kesehatan seperti NOx dan SO2, serta polusi PM2.5, belum lagi kandungan logam berat seperti merkuri.
Juru Kampanye dari Greenpeace Arif Fianto saat dia dan timnya melakukan penelitian kepada masyarakat yang tinggal dekat dengan PLTU Tanjung Jati B, Jepara, Jawa Tengah mewawancari seorang guru. Guru tersebut mengatakan bahwa sebelum PLTU Tanjung Jati B beroperasi di sana, tingkat kehadiran murid di kelasnya mencapai 90-100 persen, namun setelah adanya PLTU batubara tersebut tingkat kehadirannya semakin rendah apalagi sewaktu musim kemarau, bisa mencapai 60-70 persen saja.
“Karena sewaktu musim kemarau angin kencang dan membawa polutan dari PLTU batubara hingga ke rumah mereka,” kata dia.
Padahal PLTU Tanjung Jati B adalah PLTU yang telah menggunakan teknologi ultra-supercritical (USC) yang digadang-gadang sebagai teknologi bersih untuk PLTU batubara.
Untuk itu Greenpeace menyarankan pemerintah harus menghentikan proyek PLTU batubara, pemerintah harus dapat membuat kebijakan yang konkret antara lain dengan kebijakan yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah, sehingga menjadi referensi penting bagi turunan rencana pembangunan di bawahnya.
Setelah itu pemantauan terhadap PLTU yang telah ada harus dilakukan, ESDM harus mengembangkan peta jalan dengan target yang jelas untuk mempromosikan peralihan cepat dari dominasi batubara ke energi terbarukan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid