Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutannya dalam acara Pencanangan Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (1/7). Presiden Joko Widodo menegaskan tax amnesty bukan upaya pengampunan terhadap pelaku tindak kejahatan keuangan namun bertujuan menarik dana warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri, terutama di negara suaka pajak atau tax haven sehingga modal pemerintah untuk memercepat pembangunan infrastruktur di Tanah Air menjadi bertambah. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/16.

Jakarta, Aktual.com – Implementasi program pengampunan pajak (tax amnesty) pada periode pertama dengan tarif murah dua persen yang dilakukan pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan masih kurang sigap di mata pengusaha.

Pasalnya, dengan respon yang cukup tinggi memungkinkan banyak pihak yang tak terlayani dan tak terfasilitasi ketika ikut mendaftar tax amnesty di DJP. Padahal mereka pasti ingin ikut di tarif murah yang akan berakhir 30 September 2016 ini.

“Untuk itu, kalau tetap akan diberlakukan periode pertama hingga akhir September ini, sangat tidak logis. Apalagi dari sisi aturannya juga baru rampung di akhir Agustus. Jadi mepet banget,” tutur Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno, di Jakarta, Jumat (23/9).

Dia menegaskan, saat pembahasan UU Pengampunan Pajak, mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah dibilang, semua orang pasti mau mengikuti tahap pertama karena soal tarif itu.

“Cuma kan masalahnya, bisa tidak terlayani karena jumlah personil (DJP) kurang tapi yang mendaftar banyak. Makanya harus ada penyelesaiannya kan?” tegas dia.

Penyelesaian yang dia maksud melalui perpananjangan tahap pertama ditambah tiga bulan lagi. Jadi tarif dua persen itu bisa berlaku hingga akhir Desember 2016.

Atau minimal bisa melalui mekanisme registrasi dan bayar tebusan terlebih dahulu, setelah itu baru dilakukan deklarasi aset dan repatriasinya secara menyusul.

“Belum lama ini, pas ada rakor (rapat koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian) kita usul, gimana kalau kita registrasi dulu, sebelum tanggal 30 September ini? Terus penyelesaiannya baru belakangan sampai akhir tahun,” jelas Benny.

Cuma sayangnya, hingga kini, belum ada jawaban dari pemerintah sementara waktunya tinggal sepekan lagi. “Karena ini lewat UU, sehingga yang bisa meng-intercept UU itu hanya Perppu. Tapi kan harus darurat kalau lewat Perppu,” kata dia.

Apalagi memang, ujar Benny, sejauh ini pelayanan di kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri cukup memakan waktu. Karena semua orang pasti inginnya mengikuti tarif 2 persen.

Lebih jauh ia menegaskan, salah satu yang menghambat proses para pengusaha ikut tax amnesty adalah tekait Peraturan Menteri Keuangan (PMK) soal Special Purpose Vehichal (SPV). Dan ternyata aturan yang ada pun tak terlalu jelas. Sehingga sejarang direvisi.

“Karena ada hambatan soal administrasi. Ada persoalan lain seperti dilengkapi Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Dirjen Pajak. Tapi ketika mereka sedang mengurus SPV-nya, tahu-tahu pemberlakukan periode dua persen ini sudah mau habis. Jadi initinya itu tak berjalan efektif,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka