Jakarta, Aktual.com – Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2016, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga masih menyoroti Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2015 yang mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Menurut Ketua BPK, Harry Azhar Azis, masalah opini WDP dari LKPP 2015 itu salah satunya dikontribusi oleh kinerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
“Menurut BPK terdaoat penyertaan modal negara pada PLN sebesar Rp848,38 triliun mengandung ketidakpastian,” ujar Harry dalam Sidang Paripurna DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (4/10).
Menurut Harry, ketidakpastian itu sehubungan dengan tidak diterapkannya kebijakan akuntansi terkait perjanjian pembelian tenaga listrik swasta yang mengandung sewa seperti yang diatur dalam Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8 pada Laporan Keuangan PLN (Persero).
Selain itu, kata Harry, masalah lainnya dipengaruhi oleh belanja dan beban subsidi sebesar RpRp3,19 triliun belum ditetapkan statusnya. Karena harga jual eceran (HJE) minyak solar bersubsidi ditetapkan lebih tinggi dari harga seharusnya.
“Sehingga membebani konsumen dan malah menguntungkan badan usaha,” kata Harry.
Kemudian, piutang bukan pajak sebesar Rp4,58 triliun tidak didukung dokumen sumber yang memadai dan sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai dengan hasil konfirmasi kepada wajib bayar.
Dan yang selanjutnya, adanya persediaan sebesar Rp2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi BMN (Barang Milik Negara), yang memadai dan sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.
“Selanjutnya LKPP itu juga dikontribusikan terkait SAL (saldo anggaran lebih) dicatat dan disajikan secara tidak akurat,” tegas Harry.
Dan yang terakhir, kata dia, ekuitas yang terkoreksi negatif karena persediaan, revaluasi aset tetap, dan lain-lain sebesar Rp96,53 triliun, dan karena transaksi antarentitas sebesar Rp53,34 triliun, tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.
“Dan dalam LKPP, BPK memeriksa 85 laporan keungan kementerian negara/lembaga (LKKL), termasuk Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN),” jelasnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka