Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dalam hal ini Menteri Telekomunikasi dan Informasi (Menkominfo), Rudiantara bakal melakukan revisi terkait PP Nomor 52 dan PP Nomor 53. Jika ini terjadi, justru akan membuat liberalisasi di sektor telekomunikasi.

Untuk itu, pemerintah diminta menunda revisi kedua PP ini. Karena akan berdampak luas terhadap dunia telekomunikasi, bahkan dampaknya akan merugikan pihak BUMN telekomunikasi sendiri.

Hal itu disebutkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Hanafi Rais dalam diskusi Ada Apa Dengan Revisi PP (RPP) Networking dan Frequensi Sharing? di Jakarta, Rabu (5/10)

“Revisi PP 52 dan PP 53 ini semangatnya berlawanan dengen UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Padahal sebelum ada UU itu, semua milik negara. Tapi kemudian dilonggarkan, dan banyak muncul operator asing,” tandas Hanafi.

Dan jika PP itu jadi, maka akan semakin liberal lagi sistem telekomunikasi Indonesia. “Bahkan saya menyebutnya, selamat datang di era ultraliberalisasi,” tegas dia.

Kedua Peraturan Pemerintah (PP) yang mau direvisi adalah, RPP No 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 tahun 2000 tentang Frekuensi dan Orbit Satelit.

Bahkan jika PP ini direvisi, bisa saja melahirkan aksi moral hazard, terkait kewajibam untuk membangun infrastruktur. Sehingga dengan alasan-alasan tertentu, malah hanya menumpang saja ke BTS-BTS lain.

“Mestinya, pemerintah paham bahwa kalau mau buat PP atau Permen harus lebih efektif dan kohern. Seperti soal OTT (over the top) saja belum diatur. Jadi intinya RPP berpotensi melawan UU (Telekomunikasi). Kalau begitu, DPR pasti akan keberatan,” tegas dia.

Sejauh ini, kata dia, yang menyambut revisi PP ini hanya operator swasta sedang dari Telkom Group sendiri masih keberatan.

“Bahkan Telkom dan Telkomsel sudah jauh-jauh hari kalau kedua PP itu akan direvisi pihaknya bakal merasa sangat dirugikan,” jelas dia.

Selain itu, dia juga mengkritisi dengan kebijakan ini bentuk intervensi yang tak positif bagi industri telekomunikasi. Mestinya, kata dia, jika pemerintah mau mengintervensi pasar bisa menguntungkan pemerintah dan rakyat, dalam hal ini BUMN di sektor telekomunikasi.

“Ini kan skema B to B. Bukan lagi harus diatur pemerintah. Karena (terkait kondisi telekomunikasi) pasar yang menentukan. Justru jangan hanya alasan selama ini terjadi inefisiensi, sehingga dilakukan revisi kedua PP itu,” pungkas Hanafi.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka