Pekerja mengambil telur ayam di sebuah peternakan di Kampung Yudanegara, Ciamis, Jawa Barat, Rabu (30/3). Sejumlah peternak ayam petelur mengeluhkan harga telur di tingkat peternak yang anjlok dari Rp21 ribu menjadi Rp15 ribu disebabkan isu flu burung dan beredarnya telur breeding atau telur Day Old Chick (DOC) di pasaran. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/16.

Jakarta, Aktual.com – Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) menyorot kebijakan Kementerian Pertanian soal afkir dini di sektor perunggasan yang terjadi pada 2015 lalu telah menyebabkan kerugian yang tak sedikit bagi peternak.

Ditambah kebijakan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) memvonis kondisi tersebut telah menciptakan kartel dan akan menghukum pemain besar di perunggasan, malah tidak jelas. Yang ada, kondisi peternak mandiri justru makin berkurang dan ketakutan.

“Kondisi tersebut hingga kini dibiarkan pemerintah. Makanya para peternak mendesak pemerintah segera melakukan intervensi agar carut marut over supply DOC ini selesai,” ujar Ketua Umum PPUN, Said Sigit Prabowo, dalam Bincang-Bincang Agribisnis bertema Perspektif Ekonomi Kartelisasi Afkir Dini, di Jakarta, Kamis (6/10).

Kebijakan afkir dini, kata dia, diawali kebijakan ganda konsumsi yang mendorong perusahaan besar untuk investasi di hulu, tapi tanpa ada kebijakan pasca panennya. Sehingga produksi DOC melimpah.

“Implikasinya, peternak mengalami kerugian sebanyak Rp7,4 triliun selama periode Desember 2013 – Desember 2014 itu,” cetusnya.

Dengan kondisi terjadinya over supply DOC, kata dia, membuat perusahaan besar yang memiliki modal besar berlomba-lomba mendirikan close house untuk menyerap kelebihan DOC miliknya.

“Hal ini telah mempengaruhi struktur pelaku usaha perunggasan dan mencerminkan kedaulatan peternak mandiri kian tergerus,” jelasnya.

Tapi kemudian, dalam konteks ini, KPPU yang ingin menghukum pemain besar di unggas ini, kenyataannya berbeda sekali di lapangan. Yang terjadi, para peternak mandiri justru makin berkurang dan tertekan.

“Dan pemerintah malah membiarkan kondisi ini terus terjadi. Dimana keberpihakan pemerintah? Kami juga ingin tahu, apa motif sebenarnya dari KPPU itu?” tukas Sigit.

Kinerja KPPU yang tak tepat juga dikritisi pengamat persaingan usaha dari UI, Ine Minara S Ruky. Kata dia, sikap KPPU yang langsung memvonis adanya kartelisasi tak sesuai regulasi yang ada.

Padahal, tujuan UU No 5 Tahun 2009 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bukan untuk mengurusi dua pihak yang berperkara, melainkan untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat.

“Karena kalau bicara kartel berdasar pasal 11 UU itu, sebuah kesepakatan yang dilakukan bersama pelaku usaha untuk mengatur harga bersama, pasokan bersama, motifnya adalah keuntungan yang tinggi,” papar dia.

Cuma dalam konteks afkir dini, kata dia, yang membedakan dengan kartel adalah yang mengatur harga adalah pemerintah bukan pelaku usaha.

“Jadi kartel tersebut atas keinginan pemerintah untuk menciptakan keuntungan bagi peternak kecil bukan keuntungan yang eksesif bagi pelaku usaha besar. Jelas sikap KPPU itu salah kaprah,” cetusnya.

Ketua Umum Lembaga Kajian Strategis Indonesia, Andreas Tanadjaya menambahkan, permasalahan over supplai DOC tidak perlu terjadi, jika pemerintah berhasil membangun aspek demand terlebih dahulu.

Disinilah kekeliruan pemerintah saat itu. Karena kebijakan supplai dengan impor GGPS dilakukan pada saat pemerintah belum mampu meningkatkan konsumsi daging ayam (created demand).

“Untuk itu, sikap KPPU terhadap 12 pelaku usaha mestinya jangan terlalu kaku, KPPU perlu memberikan ruang kepada semua pelaku usaha yang terlibat di dalamnya untuk menyeimbangkan suplai demand DOC itu,” ujarnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan