Jakarta, Aktual.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), secara jelas memisahkan proses mendapatkan bukti elektronik dalam sebuah penanganan kasus.
Tiga pengacara dari Lucas, S.H & Partners, Andi Syamsurizal Nurhadi, Nadia Saphira dan Adil Supatra memaparkan bahwa putusan MK tersebut membatasi alat bukti elektronik jika diperoleh dengan melanggar hak asasi dan privasi seseorang.
Sebab, permohonan judicial review UU ITE oleh Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto ini dilandaskan atas dasar kasus dugaan pemufakatan jahat yang ditangani pihak Kejaksaan Agung (Kejagung).
Dalam kasus tersebut, Kejagung hanya memiliki bukti petunjuk yang kemudian dijadikan alat bukti yakni berupa rekaman pembicaraan antara Setya dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoedin. Dimana, rekaman pembicaraan itu dilakukan atas inisiatif Maroef, tanpa sepengetahuan Setnov, sapaan Setya.
“Ingat, Setya Novanto mengajukan permohonan uji materi terhadap UU ITE karena adanya perekaman di suatu pertemuan privat (tidak bersifat publik) yang dibuat secara melawan hukum, melanggar hak asasi dan melanggar privasi,” papar tiga pengacara dari Lucas, S.H & Partners dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/10).
Dalam permohonannya Setnov juga menuangkan kronologis kasus pemufakatan jahat yang ditujukan kepadanya, termasuk penjelasan mengenai Pasal 31 ayat (1) UU ITE.
Penjelasan pasal ini pula yang kemudian dijadikan senjata untuk menepis adanya pendapat yang menyatakan bahwa rekaman CCTV Cafe Olivier tidak bisa dijadikan alat bukti dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, karena ada putusan MK 20/PUU-XIV/2016.
“Dalam kasus pembunuhan Mirna jelas sangat berbeda, karena CCTV di Cafe Olivier adalah bersifat publik, yang tidak melanggar hak privasi manapun maupun hak asasi siapa pun,” pungkasnya
Karena CCTV di Cafe Olivier sifatnya publik, maka CCTV tersebut adalah alat bukti yang sah, yang harus dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, atau setidak-tidaknya sebagai bukti petunjuk untuk mendukung keyakinan Majelis Hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP.
M Zhacky Kusumo
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby