Jakarta, Aktual.com – Belum lama ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) secara tiba-tiba melontarkan ide untuk melimpahkan sebagian kewenangan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada pemda.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mewacanakan pemda yang nantinya bertanggungjawab membayar kapitasi ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
“Menurut saya, wacana ini tidak tepat. Dan muncul hanya karena BPJS Kesehatan terus menerus mengalami defisit,” tutur koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, di Jakarta, Senin (10/10).
Timboel menegaskan, setiap tahun BPJS itu selalu meminta Penyertaan Modal Negara (PMN) melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun 2015 BPJS menerima PMN sebesar Rp5 triliun, dan saat ini APBN 2016 berkomitmen mengucurkan Rp6,8 triliun.
“Dengan kondisi ini, sepertinya Direksi BPJS Kesehatan belum punya strategi yang handal untuk mengatasi defisit ini. Direksi hanya menyuarakan tentang mismatch iuran JKN,” tegas Timboel.
Padahal, lanjutnya, tak hanya alasan mismatch yang menyebabkan terjadinya defisit. Tapi juga ada faktor-faktor lain yang mendukung defisit. Seperti kepesertaan Peserta Penerima Upah (PPU) yang belum maksimal, terutama pekerja BUMN, selain itu sistem kendali mutu dan kendali biaya juga belum optimal, dan seterusnya.
Timboel melihat, berdasar kondisi yang dialami BPJS saat ini, tetap saja sikap Wapres sangat tidap tepat, bahkan bisa melanggar UU.
“Karena desentralisasi pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melanggar Pasal 19 ayat 1 UU No. 40/2004 yang menyatakan jaminan kesehatan sebagai program nasional,” jelas dia.
Kemudian, kata dia, untuk memastikan sembilan prinsip SJSN berjalan, maka JKN tidak pas kalau didesentralisasi. “Pemda ikut berperan serta, iya, tapi perannya adalah mengikutsertakan Jamkesda-nya ke BPJS Kesehatan, bayar iuran tepat waktu dan meningkatkan infrastruktur kesehatan,” tandasnya.
Apalagi memang implikasinya juga akan sangat besar. Kata dia, kalau sebagian pembiayaan JKN didesentralisasi menjadi kewenangan pemda, maka perlakuan satu daerah dengan daerah lain berpotensi berbeda. Sehingga portabilitas atau jaminan keberlanjutan terancam ke depannya.
“Terlebih lagi, saya memprediksi, pelibatan pemda untuk pembiayaan JKN akan berpotensi mendukung terjadinya korupsi di sektor kesehatan oleh elit-elit pemda,” pungkas Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) ini.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan