Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, kanvas kesalahan itu adalah warna dasar kita semua. Bila diri tak berlumur noda, mana mungkin kita tunjukan keasyikan luar biasa dalam menyaksikan noda orang lain. Noda diri juga cenderung hanya berani mengungkap kesalahan-korupsi ringan untuk menutupi kesalahan-korupsi besar.
Kesenangan melihat orang lain bersalah atau menutupi kejahatan besar adalah proyeksi dari cahaya kegelapan di langit jiwa kita sendiri. Dalam warna dasar kegelapan itu, pepohonan tua berbuah hampa; sedangkan tunas-tunas muda layu sebelum berkembang. Bagai menegakkan batang terendam, setiap percobaan kebangunan, jatuh kembali ke kemunduran.
Kita ingin sarapan pagi dengan harapan, tapi tak banyak orang yang menyalakan cahaya jiwa. Bagaimana bisa mengubah dunia, jika tidak bisa mengubah diri sendiri? Jalaluddin Rumi berkata, “Kemarin aku merasa pintar, karenanya aku ingin mengubah dunia. Sekarang aku lebih bijaksana, maka aku mulai mengubah diriku sendiri.”
Dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib kepada Malik al-Asytar, walinya di Mesir, ”Barangsiapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakukanya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik dirinya sendiri lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain.”
Setelah pemimpin bermawas diri, bolehlah ia mengembangkan harmoni keluar dengan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab. Pemimpin bukan hanya mengikuti kemauan rakyat, tapi juga mendidik rakyat meraih kematangan pribadi.
Dalam istilah Bung Karno, pemimpin harus dapat ”mengaktivir kepada perbuatan”: mengaktivir bangsa yang ia pimpin kepada perbuatan. Kalau cuma menyerukan perbuatan, tetapi dalam kenyataan tak mampu mengaktivir rakyat kepada perbuatan, buat apa bermimpi jadi pemimpin.
Pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan, hanya pemimpin politik yang memiliki ketangguhan “modal moral” yang bisa membawa komunitas politik keluar dari kubangan krisis. Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen aktor/institusi politik dalam memperjuangkan nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan politik yang dikehendaki oleh ideologi negara dan konstitusi. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan yang dimiliki seseorang, melainkan potensi yang bisa menggerakkan (roda politik).
Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi tingkah laku masyarakat.
Setidaknya, ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi “modal moral” secara politik. Pertama, dasaran moralitas (moral ground); menyangkut nilai-nilai, tujuan serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua, tindakan politik; berupa kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan; menunjukan contoh-contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan keyakinan kepada komunitas politik. Keempat, keefektifan komunikasi politik; kemampuan seorang pemimpin untuk mengomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitasnya dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memengaruhi dan memperkuat moralitas rakyat.
Paceklik modal moral pemimpin seperti itulah yang mencekik kehidupan politik dalam kemurungan. Pertanda negeri yang tidak bahagia, ujar Galileo, adalah negeri yang terus menunggu kedatangan pemimimpin penyelamat (pahlawan).
Jika sang “juru selamat” tak kunjung datang, mengapa pemimpin yang ada tidak berusaha memperkokoh “modal moral” politiknya. Bukankah seperti bentuk-bentuk kapital lainnya, modal moral pun bisa berkurang, bisa bertambah, atau bisa dicari cara untuk melengkapinya.
Tidak pernah ada kata terlambat untuk perbaikan dan pertobatan.
Bagi para pemimpin yang ada, sebaiknya menirukan do’a St. Francis Asisi, “Tuhanku, jadikan aku instrumen kedamaian-Mu. Tatkala ada kebencian, kutaburkan cinta; tatkala ada luka, maaf; tatkala ada keraguan, keyakinan; tatkala ada keputusasaan, harapan; tatkala ada kegepalan, cahaya; tatkala ada kesedihan, keceriaan.”
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)