Jakarta, Aktual.com – Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) menilai aturan tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba) tidak boleh kosong setelah 17 Januari 2017.

“Kami menilai tidak boleh terjadi kekosongan hukum setelah 12 Januari 2017,” kata Ketua Departemen Ristek Energi dan Sumber Daya Mineral Majelis Nasional KAHMI Lukman Malanuang dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (13/10).

Menurut dia, bila kepastian hukum tersebut akan diisi maka setidaknya terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, aturan baru harus tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

Kedua, harus dapat menjamin keberlangsungan operasi perusahaan agar pelaku usaha dapat memberikan kepastian bagi pekerjanya yang harus menghidupi keluarga, berkontribusi bagi perekonomian daerah, memberikan dampak berantai bagi perekonomian lokal dan nasional, serta menyetor pajak dan nonpajak serta devisa bagi negara.

Terakhir, peraturan perundangan pengisi kekosongan tersebut harus dapat diterbitkan sebelum 12 Januari 2017, “Untuk itu, KAHMI mengimbau kepada pembantu Presiden agar memberikan solusi hukum yang tepat serta masukan secara detil dan komprehensif kepada Presiden. Kesalahan dalam memilih bentuk regulasi justru akan menjerumuskan Presiden dengan munculnya kegaduhan sosial dan ekonomi yang tidak perlu di masyarakat,” katanya.

Lukman juga mengatakan tidak cukup waktu bagi Komisi VII DPR dengan sisa 30 hari kerja hingga akhir 2016 menyelesaikan revisi UU Minerba yang merupakan Program Legislasi Nasional Prioritas Inisiatif DPR pada 2016.

Hingga saat ini, lanjutnya, draf RUU Minerba belum juga dapat dirampungkan Komisi VII DPR untuk diserahkan kepada Badan Legislasi DPR dan selanjutnya ditetapkan dalam rapat paripurna DPR serta disahkan Presiden.

“Jalannya masih panjang,” katanya.

Di sisi lain, menurut dia, pemerintah akan memberlakukan larangan ekspor mineral (konsentrat) yang jatuh tempo pada 12 Januari 2017 sesuai PP No 1 Tahun 2014.

Relaksasi ekspor hanya akan dibuka jika perusahaan kontrak karya berubah ke rezim izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan syarat wajib membangun pengolahan (smelter).

“Jika tidak, maka tetap menjadi kontrak karya sampai berakhirnya kontrak namun tidak mendapat relaksasi ekspor,” ujarnya.

Di samping itu, pemerintah berencana membuka ekspor bijih, padahal kemajuan pembangunan “smelter” oleh izin usaha pertambangan (IUP) terjadi dengan cepat dalam waktu singkat.

“Setiap perubahan akan memberikan dampak negatif kepada upaya hilirisasi, Program Trisakti dan Nawacita, selain itu akan mengakibatkan ketidakpercayaan negara lain dan investor kepada Indonesia,” ujar Lukman.(Ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid