Presiden Jokowi memberikan keterangan persnya usai mendatangi kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa (11/10/2016). Jokowi mendatangi Kemenhub saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Polri terkait praktek pungli perizinan kapal.

Jakarta, Aktual.com – Pemerintahan Jokowi-JK dari awal selalu berpacu pada Konsep Trisakti dan Nawa Cita. Salah satu poin di dalamnya menyinggung tentang mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor strategis ekonomi domestik.

Turunan dari poin tersebut berkaitan dengan masalah kedaulatan di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam agenda ini, ada 9 program strategis yang 2 diantaranya ialah hilirisasi industri Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan konsolidasi industri tambang.

“Namun menginjak tahun kedua kepemimpinan Jokowi, keadaan tidak banyak berubah, justru bertambah buruk saja,” ujar Presiden Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Mahardhika Zein melalui pernyataan tertulis yang diterima wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/10).

Menurut pria yang akrab disapa Dhika itu, titik awal kemunduran hilirasi Minerba dimulai ketika Pemerintahan Jokowi-JK mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.

Dalam PP tersebut, Pasal 112 butir 4c telah dihapus. Padahal pasal ini berisikan tentang kewajiban setiap kuasa pertambangan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 tahun sejak Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009.

Dengan demikian, lanjut Dhika, PP Nomor 1 Tahun 2014 tersebut telah jelas-jelas melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba, khususnya Pasal 102 dan 103 ayat 1 dan 3 yang berbunyi pemegang izin usaha produksi dan izin usaha produksi khusus operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam rangka meningkatkan nilai tambah.

“Bahkan dalam PP ini, muncul aturan baru yang memperbolehkan ekspor mineral yang belum dimurnikan,” ungkapnya.

Dhika mengatakan, hal itu diperparah ketika Menteri ESDM Sudirman Said mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Aturan ini membolehkan ekspor mineral logam dalam jumlah tertentu yang telah diolah tanpa dimurnikan dahulu di dalam negeri dan kegiatan ekspor tersebut diperbolehkan hingga jangka waktu paling lambat 3 tahun sejak diundangkannya Permen tersebut, atau hingga 11 Januari 2017.

“Hal ini menunjukkan bahwa semangat hilirisasi yang dicanangkan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 telah dilanggar oleh peraturan turunan di bawahnya,” katanya.

Puncak kemundurannya sendiri, kata Dhika, adalah saat Menteri ESDM mengeluarkan Permen Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas Permen Nomor 1 Tahun 2014. Dalam aturan ini memperbolehkan kegiatan ekspor “conto” atau contoh mineral tanpa harus sesuai syarat minimum pengolahan dan pemurnian dengan tujuan penelitian demi pengembangan proses pemurnian.

“Dalam aturan ini tidak diatur berapa jumlah maksimal conto yang boleh diekspor. Sehingga, pasal ini memungkinkan timbulnya potensi eskpor konsentrat besar-besaran berkedok penelitian dan pengembangan,” terang dia.

Selanjutnya, di awal tahun kedua Pemerintahan Jokowi-JK, terbit Permen Nomor 5 Tahun 2016 tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan dan pemurnian. Menurut Dhika, aturan inilah yang menjadi dasar kuat bagi perusahaan tambang untuk menunda pembangunan fasilitas pemurnian (Smelter), karena laporan kemajuan pembangunan Smelter sebesar 60% sebagai syarat ekspor telah dihapuskan.

Sedangkan pada Agustus 2016, di era singkat Menteri ESDM Arcandra Tahar, PT Freeport Indonesia (PTFI) mendapatkan perpanjangan izin ekspor konsentrat hingga Januari 2017 dan diklaim bahwa perpanjangan izin tersebut sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Padahal, jelas-jelas aturan turunan yang menjadi landasan hukum rekomendasi tersebut bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009,” tegas Dhika.

Kemudian pada September 2016 lalu, selepas Menteri ESDM dipegang oleh Pelaksana Tugas (Plt) Luhut Binsar Panjaitan, dirinya ingin mempercepat proses revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba. Mengingat proses revisi yang lama dan tidak sederhana, Luhut justru berencana untuk melakukan perubahan keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba (Revisi PP Nomor 1 Tahun 2014 dan 77 Tahun 2014) dengan alasan demi menanggulangi defisit fiskal maka perlu ada pelonggaran izin ekspor beberapa mineral tanpa melalui proses peningkatan nilai tambah di dalam negeri selama 5 tahun sejak diundangkannya aturan tersebut.

“Jika tahun 2016 ini PP tersebut keluar, berarti kedaulatan yang kita sebut di awal terpaksa menunggu menunggu hingga tahun 2021,” pungkas Dhika.

Menurut Dhika, rencana dan pemikiran Luhut tersebut tentu sangat mengkhianati semangat hilirisasi UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba. Untuk itu, pihaknya menuntut kepada Pemerintah untuk mempertanggungjawabkan segala tindakan yang melanggar UU Minerba dengan mencabut dan memperbaiki aturan yang bertentangan dengan UU Minerba.

Serta, menolak segala perubahan peraturan tentang Minerba yang bertentangan dengan semangat Hilirisasi. Dan menghentikan segala kegiatan penjualan mineral ke luar negeri yang tanpa melalui proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya tahun 2017 mendatang.

“Membangun strategi peningkatan nilai tambah dan hilirisasi serta kesiapan industri dalam negeri yang terintegrasi dan konsisten serta memantau proses implementasi strategi dan antisipasi kuratif dalam bentuk sanksi yang jelas supaya dapat secara nyata memakmurkan dan mensejahterakan rakyat Indonesia secara berkeadilan,” tutup Dhika.(Nailin In Saroh)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid