Monitor penunjuk tarif bunga deposito yang dipajang di salah satu sudut Kantor BNI Pusat, Jakarta, Senin (26/7). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan menahan suku bunga acuan BI (BI Rate) sebesar 6,5 persen, hal tersebut berpengaruh pada penurunan suku bunga perbankan, baik suku bunga deposito maupun suku bunga kredit. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Penurunan suku bunga kredit perbankan sepertinya akan susah dilakukan dalam waktu dekat. Di samping dari perbankan sendiri enggan menirunkan suku bunga kredit, ternyata kebijakan pemerintah yang banyak menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi penyebabnya.

“Jadi teori yang mengatakan, bahwa suku bunga itu disebabkan oleh adanya cost of fund (biaya dana) ditambah dengan inflasi itu gak cocok di Indonesia,” jelas pengamat ekonomi dari INDEF, Eko Listiyanto, di Jakarta, Jumat (21/10).

Sejauh ini, Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuannya berkali-kali yaitu BI 7 Day Repo Rate. Kemarin BI juga menurunkan 25 basis points (bps) menjadi ke menjadi level 4,75%. Jugs deposit facility dan lending facility juga turun 25 bps masing-masing menjadi 4% dan 5,5%.

Alasan BI menggunakan suku bunga baru ini, karena lebih membuktikan kondisi nyata sari transaksi di pasar. Tapi nyatanya tetap saja suku bunga kredit perbankan tidak turun-turun juga.

Kondisi susahnya suku bunga kredit untuk diturunkan ini karena kebijakan fiskal pemerintah yang terlalu agresif dalam menerbitkan surat utang pemerintah atau SBN baik itu obligasi dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

“Kebijakan pemerintah agresif ambil uang di pasar melalui obligasi karena mau menjaga defisit di bawah tiga persen, telah berdampak ke pasar keuangan kita,” tegas dia.

Di saat likuidtas perbankan yang tak terlalu bagus, kata dia, dengan kebijakan pemerintah itu telah mmebuat investor banyak melarikan dananya ke SBN.

“Sebab imbal hasil di surat utang lebih menarik, maka uangnya jadi ke sana dan tidak ke perbankan. Mereka yakin obligasi pemerintah tak akan default. Hal itu kemudian memengaruhi suku bunga kredit yang sulit diturunkan,” ungkap Eko.

Apalagi selama ini, pihsk bank sudah memberikan bunga yang tinggi di simpanan, seperti deposito. Sehingga suku bunga pinjamannya tak mungkin lebih rendah.

“Jadi itu problemnya. Sudah suku bunga acuan turun, inflasi sangat rendah, di bawah batas, kok suku bunga kredit masih double digit. Untuk korporasi saja masih 12%, jadi itu benar-benar problem,” tandasnya.

Dia menegaskan, dalam beberapa kali kebijakan penurunan suku bunga acuan oleh BI, ternyata tak berdampak signifikan ke kondisi perbankan. Beberapa bank hanya menurunkan suku bunga kredit paling 0,0 sekian persen. Padahal suku bunga acuan sudah turun beberapa kali.

“Artinya, kebijakan moneter dari BI itu menjadi tidak efektif. Selain faktor kebijakan fiskal (penerbitan surat utang) pemerintah juga jadi pemicunya,” jelas dia.

Menurut Eko, semakin agresif pemerintah menerbitkan utangan, semakin susak juga suku bunga itu akan turun. Kendati sejak awal tahun bicara suku bunga kredit single sigit, tapi nyatanya tak tercapai.

“Terus kemudian mungkin tahun depan bisa sibgle digit. Tapi karena pemerintah juga masih akan banyak utangan, bank tentu akan butuh likuiditas lebih lagi. Sehingga bunga-bunga tinggi masih diterapkan oleh bank,” pungkas dia.(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid