Jakarta, Aktual.com – Pilkada DKI yang sudah memasuki kalender politiknya kian hari kian mengkhawatirkan. Pesta demokrasi yang seharusnya adalah kegembiraan bagi seluruh rakyat, kini kehilangan kegembiraannya bahkan berubah menjadi situasi yang mulai menakutkan.
Ada setidaknya lima 5 indikator yang saat ini menumbuhkan kekhawatiran atas nasib Jakarta dan masa depan bangsa Indonesia. Pertaruhan besar itu sedang dipertaruhkan dalam Pilkada DKI. Hanya untuk seorang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), nasib masa depan Jakarta dan negara dipertaruhkan.
Demikian disampaikan tokoh Rumah Amanah Rakyat, Ferdinand Hutahaean, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/10). Ia menjelaskan lima indikator yang menumbuhkan kekhawatiran dimaksud.
“Pertama, disharmoni antara kaum mayoritas dan kaum minoritas. Disharmoni yang berbau SARA muncul ketika Ahok dengan arogansi dalam ketidakpahamannya serta tidak menghormati ajaran agama lain melontarkan kalimat penistaan pada ajaran Islam,” terangnya.
Sikap Ahok tersebut telah secara sah menyalakan api ditengah Jakarta. Ahok menurutnya tidak menghormati ajaran Islam yang menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk Jakarta maupun Indonesia.
Kedua, pernyataan Ahok yang mengibaratkan Pancasila adalah bangunan setengah jadi jika minoritas belum bisa jadi presiden. Pernyataan tersebut merupakan bentuk nyata pelecehan kepada Pancasila dan pelecehan kepada Bung Karno penggali Pancasila.
“Ahok seolah ingin menyatakan bahwa sebelum dirinya menjadi Presiden, maka Pancasila belum selesai. Ini pernyataan menyesatkan dan mengerdilkan nilai-nilai Pancasila,” kata Ferdinand.
Harus dipahami Ahok, Pancasila bukan sekedar mensejajarkan minoritas dengan mayoritas. Akan tetapi ada nilai besar yaitu Kebijaksanaan, Hikmat dan Musyarawah Mufakat dalam Pancasila. Kebijaksanaan dan Hikmat itulah roh tertinggi demokrasi Pancasila yang diimplementasikan dalam Musyawarah Mufakat bukan pemaksaan kehendak.
Kebijaksanaan dan Hikmat itu dibutuhkan agar minoritas seperti Ahok menghormati mayoritas maka toleransi akan terpelihara dengan baik. Namun jika minoritas memaksakan untuk menguasai mayoritas atas nama demokrasi, maka toleransi akan rusak dan dampakya adalah kekacauan dan kericuhan.
Indikator ketiga adalah sikap Presiden yang patut diduga tidak netral dalam Pilkada DKI. Sebagai kepala negara, semestinya Presiden berdiri sama dan adil atas semua kelompok dan tidak berpihak secara diam-diam apalagi berpihak secara vulgar pada salah satu calon.
Ini tentu berbahaya bagi nasib bangsa jika Presiden tidak netral dan tidak memayungi semua kelompok secara sama dan sederajat. Dugaan keberpihakan Presiden kepada Ahok bukanlah dugaan tanpa dasar.
“Presiden diam tentang reklamasi, presiden bisu tentang penistaan agama oleh Ahok, presiden membela Ahok dalam kasus Sumber Waras dan berbagai hal lainnya. Bukankah diamnya presiden itu menjadi dasar analisis keberpihakan presiden kepada Ahok?” tuturnya.
Keempat, beredarnya berita di media beberapa waktu lalu tentang Surat Keputusan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tentang tim khusus pemenangan Ahok. Terlepas Skep tersebut benar atau tidak, tentu tidak ada yang tahu pasti kecuali Kepala BIN Budi Gunawan dan orang-orang yang disebut namanya dalam skep tersebut.
Ia menyatakan mungkinkah ada asap jika tidak ada api? Karenanya semua pihak diajaknya berfikir jernih mengenai pepatah tersebut.
Indikator terakhir, lanjut Ferdinand, beredarnya sebuah slide di Whatsapp group tentang instruksi Kapolri terkait Pilkada. Apabila benar adanya, maka Polri menjadi institusi ketiga yang tidak netral dalam pilkada DKI setelah lembaga Kepresidenan dan BIN.
“Andai itu tidak benar, mengapa Kapolri tidak membentuk tim khusus memburu pelaku penyebar slide itu? Saya sendiri berharap itu tidak benar karena POLRI sebagai alat negara harusnya berada disemua pihak secara adil dan memastikan keamanan dan ketertiban terjadi,” jelasnya.
Harapan, kini berada di tangan TNI sebagai benteng terakhir penjaga Bangsa. Institusi itu diharapkan tidak ikut-ikutan berpihak dalam Pilkada DKI, yakni dengan mengutamakan nasib bangsa dan negara daripada nasib kekuasaan atau jabatan.
Bahkan, jika Presiden tidak lagi melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan membahayakan nasib masa depan keutuhan bangsa, sesuai Sumpah Prajurit dan Sapta Marga maka wajib hukumnya atas nama Konstitusi, TNI harus turun tangan menyelamatkan bangsa.
“Harapan terakhir bangsa ini adalah TNI bersama-sama dengan rakyat karena TNI adalah rakyat. TNI bersama rakyat, rakyat bersama TNI maka bangsa akan kuat,” demikian Ferdinand.
*Sumitro
Artikel ini ditulis oleh: