Jakarta, Aktual.com – Pada hari Kamis, 20 Oktober 2016 lalu, pemerintah telah menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang Pemilu ke DPR. Ada banyak hal yang akan direvisi. Bukan saja soal sistem pemilu, tetapi juga tentang penyelenggara pemilu. Semuanya dimasukan dalam satu ketentuan baru UU pemilu.

Berkenaan dengan itu, Lingkar Madani (LIMA) Indonesia menyoroti beberapa rancangan tentang KPU. Pertama, menyangkutan masa bakti KPU Daerah yang masih diberlakukan selama 5 tahun. Padahal, sesuai rancangan sistem pemilu, ke depan kita hanya melaksanakan dua kali Pemilu dalam 5 tahun. Yakni pemilu nasional dan pemilu lokal.

“Jika jarak satu pemilu ke pemilu lainnya misalnya hanya dua tahun, maka masa bakti KPUD rasanya cukup 3 tahun,” terang pemerhati pemilu LIMA, Ray Rangkuti, kepada Aktual.com, Selasa (25/10).

Jika ditemukan hal-hal yang berkaitan administratif politik di antara pemilu nasional, maka keberadaan KPU Nasional dapat melaksanakan keputusan-keputusan administratif politisi. Dengan masa bakti 3 tahun setidaknya dapat menghemat biaya negara.

Kedua, adanya celah yang memungkinkan intervensi DPR ke KPUD. Hal itu terlihat dari Pasal 31 Ayat (1) b yang menyatakan bahwa anggota KPUD dapat diberhentikan secara tidak terhormat dari rekomendasi DPR.

Sekalipun rekomendasi tersebut tetap harus terlebih dahulu diverifikasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), namun hasil rekomendasi selevel DPR tentu bukan rekomendasi ecek-ecek.

Ray menyinggung ketentuan Pasal 58 Ayat (4) mengenai ketentuan KPU berkonsultasi ke DPR sebelum pembuatan Peraturan KPU (PKPU). Poin yang sebenarnya telah masuk di UU Pilkada 2016. Ketentuan yang menurutnya akan merusak independensi KPU.

“Terbukti pada pembuatan PKPU Pilkada 2016, beberapa ketentuan yang sudah disusun KPU harus dibongkar karena DPR tidak setuju. Akhirnya perdebatan jadi panjang, dan banyak PKPU yang terlambat disahkan. Uniknya, poin yang sama kembali dimasukan di RUU Pemilu,” jelasnya.

Ketiga, yakni menyangkut Pasal 30 ayat (1)c. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa anggota KPUD berhenti antar waktu karena telah berusia 65 tahun. Pembatasan usia ini tidak jelas apa maksud dan tujuannya. Setelah membatasi usia minimal anggota KPUD kini dibatasi juga usia maksimalnya.

Terakhir, pasa Pasal 14 ayat (1)n yang menyatakan bahwa syarat menjadi anggota KPUD tidak berada dalam satu ikatan perkawinan dengan sesama Penyelenggara Pemilu. Maksudnya baik namun aturan senafas dengan ini sebenarnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Aturan terkait politik dinasti yang dinyatakan oleh MK sebagai bertentangan dengan konstitusi. Pasal ini memiliki semangat yang reformatif tapi dikhawatirkan kelak akan dibatalkan MK jika ada yang melakukan judicial review,” demikian Ray.

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby