Sejumlah petambak memberikan pakan ikan kerapu yang dibudidayakan di dalam keramba Danau Laut Tawar, Aceh Tengah, Aceh, Minggu (7/8). Selain untuk dikonsumsi di daerah setempat ikan kerapu tersebut juga diekspor keluar negeri seperti Malaysia dan Singapura dengan harga Rp. 85 ribu - Rp. 125 ribu per Kilogram. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/ama/16.

Jakarta, AKtual.com – Kementerian Keuangan bersama-sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal mendata berbagai perusahaan yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan untuk mengkaji terkait penerimaan keuangan negara.

“Saya minta dirjen bea cukai dan pajak untuk ke KKP guna mendata perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perikanan dan mutiara,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di kantor KKP, Jakarta, Rabu (26/10).

Menurut Sri Mulyani, disinyalir potensi yang dapat dioptimalkan untuk penerimaan negara sangat besar karena pemasukan dari sektor kelautan dan perikanan pada saat ini dinilai masih sangat minimal.

Untuk itu, ujar dia, penting pula pendataan perusahaan kelautan dan perikanan antara lain apakah mereka juga sudah melaporkan hal-hal terkait penerimaan negara dengan benar.

Hal tersebut, lanjutnya, juga penting agar negara juga bisa mengelola sektor kelautan dan perikanan dengan ketercatatan yang baik dan tepat.

Menkeu juga mengingatkan bahwa laut merupakan tempat yang strategis terkait dampak perubahan iklim seperti untuk menyerap CO2.

Sebelumnya, KKP bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat Pusat Transformasi Kebijakan Publik mewacanakan pemeringkatan perusahaan sektor perikanan untuk membantu pihak perbankan mengucurkan kredit.

“Tingkat risiko usaha perikanan ditandai dengan empat kelas yaitu biru, hijau, kuning dan merah,” kata Direktur Eksekutif Pusat Transformasi Kebijakan Publik Juni Thamrin di kantor KKP, Jakarta, Selasa (18/10).

Dia memaparkan kelas biru menandakan risiko usaha yang sangat rendah dengan bobot risiko 0-24,9 persen, kelas hijau dengan bobot risiko rendah 25-49,9 persen, kelas kuning dengan bobot risiko usaha sedang 50-74,9 persen, dan kelas merah yang menandakan bobot risiko usaha tinggi 75-100 persen.

Pemeringkatan tersebut, lanjutnya, dimaksudkan untuk membantu bank atau lembaga pembiayaan nonperbankan dalam penyaluran kredit atau bantuan pembiayaan yang aman, dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan usaha dan kelestarian sumber daya.

Sebagaimana diketahui pada Mei 2015, KKP bersama-sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beserta delapan bank dan dua lembaga keuangan nonbank meluncurkan program Jangkau, Sinergi dan Guideline (Jaring).

Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan peminjaman kepada sektor kelautan dan perikanan sebesar lebih dari 50 persen pada tahun 2015, dan targetnya diharapkan menembus Rp9,2 triliun pada tahun 2016.

Sementara itu, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo mengatakan, sesuai Instruksi Presiden No 7/2016, Kementerian Keuangan termasuk di dalamnya OJK dan industri jasa keuangan perlu menyediakan skema pembiayaan khusus dalam pembangunan industri perikanan nasional.

Terkait dengan insentif yang ditawarkan oleh KKP, Nilanto menyatakan salah satu insentifnya adalah iklim sektor perikanan tangkap di berbagai wilayah pengelolaan perikanan di Tanah Air, saat ini telah memiliki stok ikan yang banyak sebagai dampak keberhasilan pemberantasan pencurian ikan yang telah digalakkan selama ini.

“Target kerja sama dengan perbankan melalui Jaring adalah Rp9 triliun lebih tahun ini, kami berharap kawan-kawan perbankan dapat menyalurkan pinjaman baik ke sektor hulu maupun hilir perikanan,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid