Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi senior, Aviliani menyebut laju inflasi yang di bulan lalu sebesar 0,14% memang terbilang rendah. Namun demikian, rendahnya inflasi ini harus diwaspadai pemerintah. Karena memengaruhi penurunan daya beli masyarakat.
“Memang, kita prediksi (laju inflasi) sampai akhir tahun itu bisa turun sampai 4%. Cuma penurunan terus inflasi harus diwaspadai pemerintah. Dengan turunnya inflasi, mempengaruhi daya beli yang menurun,” jelas Aviliani di Jakarta, Rabu (2/11).
Memang, kata dia, jika dilihat pada Mei-Juni, daya beli masyarakat dinilai sudah mulai membaik. Akan tetapi mulai Agustus-Septmber atau pasca Hari Raya Idul Fitri daya beli masyarakat cenderung menurun.
“Jadi pemerintah tak hanya harus mewaspadai. Tapi harus bertanggung jawab terus menggenjot daya beli. Karena selama ini daya beli masyarakat menjadi pendorong pertumbuhan,” tandas dia.
Kondisi ini terjadi, kata dia, salah satunya adanya program pengampunan pajak (tax amnesty). Sehingga banyak orang yang mengurangi konsumsi hanya untuk membayar tebusan untuk ikut program pengampunan pajak.
“Termasuk kalangan pengusaha yang investasinya dikurangi supaya bisa membayar (dana tebusan) tax amnesty,” ungkap ekonom Indef ini.
Dengan adanya kondisi trade off atau mengurangi belanja dari masyarakat dan dunia usaha yang mengurangi investasi, maka pemerintah pemerintah harus menjadi pay mover. Kenapa? Karena kondisi saat ini disebabkan oleh pemerintah.
Aviliani menyebut ada kondisi time lag gara-gara ada kebijakan pemangkasan anggaran. Dan kebijakan itu berdampak banyak, termasuk ke konsumsi masyarakat.
“Jadi begitu ada pemotongan anggaran, pemerintah tak punya prioritas langsung. Sehingga mereka harus memilah-milah mana yang harus dipotong. Ini menyebabkan time lag. Dan akhirnya menyebabkan inflasi menjadi rendah dan daya beli sedikit menurun,” papar Aviliani.
Oleh karena itu, kata dia, masih ada waktu Novomber-Desember ini, pemerintah pusat dan semua pemerintah daerah harus memunyai prioritas mana yang harus dibelanjakan.
“Kalau tidak cepat, maka hingga akhir tahun pertumbuhan ekonomi bisa mencapai di bawah 5% lagi. Padahal kita berharap rata-rata pertumbuhan ekonomi bisa di atas 5% di akhir tahun,” ujarnya.
Selama ini, kata dia, sudah ada ada dua kali time lag di tahun ini. Pertama, kebijakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) yang melarang menggunakan hotel untuk rapat dan sejenisnya. Terjadi time lag selama dua bulan. Meski sekarang direvisi lagi dan akhirnya diperbolehkan.
Kemudian time lag kedua, adalah pemotongan anggaran. Apalagi time lag itu memang membutuhkan waktu dan membuat pengeluaran pemerintah menjadi terhambat.
“Jadi mau main (investasi) di infrastruktur smpe akhir tahun engga mungkin. Dan yang paling mungkin ya konsumsi. Tapi kan itu yang dipotong. Padahal konsumsi itu merupakan hal paling cepat untuk menggenjot belanja,” jelas Aviliani.
Dengan kondisi begitu, Aviliani memperkirakan di kuartal III-2016 lalu, pertumbuhan ekonominya tak akan mencapai 5%. Alasan yang paling kuat adalah faktor time lag dan masyarakat yang mengurangi konsumsi.
“Langkah yang paling memungkinkan dilakukan adalah menggenjot dari belaja pemerintah. Karena efeknya akan (berdampak) ke konsumsi masyarakat dan dunia usaha,” tutup dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka