Tidak ada yang tak kenal nama Teungku Muhammad Daud Beureu’eh di Aceh. Ia adalah tokoh pejuang dan ulama Aceh yang sangat populer sekaligus kontroversial. Ia adalah pejuang kemerdekaan, yang membela tegaknya Republik Indonesia dalam melawan penjajah Belanda. Namun, ia juga pernah jadi “pemberontak” yang melawan pemerintah pusat di Jakarta.

Muhammad Daud lahir di dusun kecil Beureu’eh, Kabupaten PidieAceh, pada 17 September 1899, dari lingkungan keluarga ulama. Kelak nama dusun kecil itu menjadi terkenal sebagai bagian dari namanya.

Daud bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku. Gelar Teungku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Jihad, Abu Daud, atau Abu Beureu’eh. Dialah sosok yang menjadi cikal bakal semua gerakan kemerdekaan Aceh.

Pada zamannya, Daud Beureu’eh dikenal sebagai ulama yang tegas dan keras pendirian. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengannya, ia termasuk tuna aksara (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang.

Abu Daud menjalani pendidikan di beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan sejumlah sosok dengan militansi tinggi di Bumi Serambi Makkah.

Abu Daud juga terkenal sebagai pendakwah, orator, dan seorang yang murah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang mendorongnya pada 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli. Ini adalah rintisan pendirian sekolah-sekolah Islam yang modern di Aceh.

Mendirikan PUSA

Pada 1939, ia mendirikan dan memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). PUSA pada awalnya tidak anti-Belanda, namun tampil sebagai pengritik keras terhadap hirarki kaum Uleebalang (pejabat-aristokrat) yang didukung Belanda. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.

Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski awalnya didirikan dengan latar keagamaan, PUSA akhirnya dimusuhi Belanda karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh, dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikan Daud sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

Para anggota PUSA dikabarkan sudah menjalin kontak dengan Jepang, sebelum invasi Jepang ke Indonesia pada 1942, dengan harapan bisa dibantu menggulingkan dominasi kekuasaan kaum Uleebalang. Sesudah militer Jepang menduduki Indonesia, Jepang merasa memerlukan dukungan rakyat Aceh. Maka pada 1944, Jepang mengalihkan banyak fungsi-fungsi kehakiman dari tangan kaum Uleebalang ke pengadilan-pengadilan agama yang dipimpin oleh Daud.

Sesudah Jepang menyerah pada pasukan Sekutu, konflik antara elite sekuler dan elite religius di Aceh semakin keras. Ini menjurus ke surutnya kekuasaan kaum Uleebalang dan banyak kalangan Uleebalang yang terbunuh pada Desember 1945. Sejak saat itu, Daud menjadi sosok yang paling berpengaruh di Aceh.

Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945. Namun, kabar itu terlambat sampai di Aceh. Kabar propklamasi kemderdekan RI baru diterima pada 15 Oktober 1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian membuncah.

Menyadari besarnya pengaruh Daud di mata rakyat Aceh, Presiden Sukarno pada 1948 menemui langsung Daud untuk meminta dukungannya bagi Republik Indonesia yang belum lama berdiri. Dalam pertemuan itu, Sukarno memanggil Daud dengan sebutan akrab “kakanda” (kakak). Dalam pertemuan itu, Daud menyatakan, rakyat Aceh siap mendukung Republik Indonesia yang baru merdeka, dengan syarat Aceh bisa menjadi provinsi tersendiri yang menerapkan syariat Islam.

Sukarno menyetujui permintaan ini. Namun, tidak cukup dengan janji lisan, Daud meminta pernyataan tertulis dari Sukarno tentang persetujuan itu. Mendengar tuntutan itu, Bung Karno pun menangis terisak-isak, merasa bahwa ia sebagai Presiden RI tidak dipercaya oleh Daud.

“Waallah Billah (Demi Allah)…, Aceh nanti akan saya beri hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai Syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam. Apakah kakak masih ragu?” Kata-kata itu diucapkan oleh Sukarno sambil terisak di bahu Daud Beureu’eh.

Akhirnya, Sukarno berhasil meluluhkan hati Daud Beureu’eh. Sukarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureu’eh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, Syari’at Islam akan diterapkan di tanah rencong ini. Merasa tak tega melihat Sukarno menangis, urunglah niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.

Sumbangsih Rakyat Aceh

Daud pun serius dengan dukungannya pada Republik. Ia menyerukan lewat seluruh ulama di Aceh, agar rakyat Aceh mendukung Sukarno. Dukungan Daud pada perjuangan Republik Indonesia melawan Belanda –yang mau kembali berkuasa– menjadikan Aceh sebagai benteng Republik. Ia menjadi Gubernur Militer Aceh (1945-1953) dan Gubernur Aceh Darussalam (1948-1952).

Banyak sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene adalah salah satu hasil perjuangan Daud Beureu’eh. Antara lain, saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika Yogyakarta diduduki pasukan Belada dan Sukarno-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.

Begitu juga, saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dipindahkan ke Bireuen. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat.  Dunia penerbangan Indonesia juga berutang budi pada rakyat Aceh, yang menyumbangkan pesawat terbang Seulawah I dan II untuk Rl.

Namun, tuntutan untuk hidup di bawah Syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri,” ketika pada 1951 Sukarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara yang lebih besar. Hal itu menimbulkan kemarahan di Aceh.

Daud menganggap pemerintah Sukarno ingkar janji bahwa Aceh akan menjadi provinsi tersendiri, yang menerapkan syariat Islam. Daud, yang menjadi gubernur Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi ke gunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”

Didukung oleh mantan anggota PUSA dan banyak kalangan militer, Daud pun memimpin pemberontakan melawan Jakarta. Pada 21 September 1953, ia mendeklarasikan Aceh akan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang sudah dibentuk sebelumnya di Jawa oleh Kartosuwiryo.

Pasukan militer yang dikirim Jakarta dengan cepat dapat menguasai kembali kota-kota Aceh, namun perlawanan itu meluas sampai 1959. Untuk meredakan perlawanan, pemerintah pusat mengirim M. Natsir ke Aceh. Saat itulah tercapai persetujuan damai, di mana Aceh disepakati akan menjadi provinsi tersendiri dengan status “Daerah Istimewa,” dengan hak untuk memberlakukan syariat Islam.

Daud sendiri tidak kembali dari basis gerilyanya sampai 1962. Daud akhirnya mendapat amnesti, namun ia tetap sangat kritis terhadap pemerintah pusat. Di masa damai, Pemerintah ingin memberi rumah untuk Daud, namun tokoh yang biasa hidup sederhana itu menolak. Daud meninggal di Aceh10 Juni 1987 pada umur 87 tahun.***

Artikel ini ditulis oleh: