Yogyakarta, Aktual.com – Menyusul tragedi tenggelamnya kapal TKI di perairan Nongsa, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (2/11) dini hari, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM DIY menuntut pemerintah segera memperbaiki manajemen penyaluran tenaga kerja ke luar negeri.
“Persoalannya bukanlah legal atau ilegal, TKI juga warga negara kita dan negara seharusnya bisa menjamin keselamatan serta hak mereka atas pemenuhan kebutuhan dasarnya. Mereka bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan hidup, negara bisa tidak memfasilitasi?” ujar Dr. Sukamdi, M.Sc, Pakar Migrasi Internasional PSKK UGM, Kamis (3/11).
Dia begitu menyayangkan tragedi ini kembali terulang, terlebih terjadi berturut-turut dalam setahun belakangan, menunjukkan betapa buruknya manajemen penyaluran TKI ke luar negeri.
Sukamdi menilai data statistik yang bisa menunjukkan tentang jalur migrasi ilegal tidak benar-benar ada sehingga kebijakan yang diterapkan dalam menekan arus migrasi pekerja ke luar negeri cenderung spekulatif. Moratorium sekalipun menurutnya tidak akan pernah bisa menghentikan arus migrasi, para pekerja bakal selalu mampu menemukan cara berangkat ke negara tujuan.
Meski terhitung sangat terlambat, Sukamdi berharap kejadian ini harus jadi momentum pemerintah bergerak cepat memperbaiki manajemen penyaluran TKI ke luar negeri. “Pemerintah jangan lagi lalai, jumlah TKI serta kontribusinya terhadap negara tidak bisa dipandang sebelah mata,” kata dia.
Menurutnya, data penempatan TKI medio 2011-2015 yang dikeluarkan BNP2TKI menunjukkan ada lebih dari 2 juta penduduk atau berkisar 2.299.187 jiwa yang telah pergi meninggalkan Indonesia. Jumlah ini bagi Sukamdi di lapangan bisa jadi lebih besar mengingat banyak TKI yang tak memiliki dokumen resmi serta pergi melalui jalur-jalur keberangkatan ilegal.
Selain itu, data BNP2TKI pun menunjukkan remitansi atau aliran uang dari TKI pada 2015 mencapai 8,65 miliar dollar AS atau lebih kurang setara dengan Rp119,7 triliun, jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara penerima remitansi terbesar keempat dunia.
Laporan: Nelson Nafis
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis
Wisnu