Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis melakukan aksi tolak Kebijakan Menkominfo tentang penurunan tarif interkoneksi dari Rp 285 ke Rp 204 di depan DPR, Jakarta, Selasa (30/8). Kebijakan tersebut sangat berpotensi menciptakan potensi kerugian negara (potential loss) signifikan yakni sekitar Rp 800 miliar. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Kebijakan tarif interkoneksi yang semula akan diterapkan pada 1 September 2016 lalu memang hingga kini belum dipastikan. Namun sepertinya, kebijakan revisi PP Nomor 52 dan PP Nomor 53 tahun 2000 tetap dijalankan, karena saat ini sudah ada di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Padahal, jika kebijakan ini tetap dijalankan akan merugikan perusahaan telekomunikasi BUMN yaitu PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan anak usahanya Telkomsel. Sebab perusahaan ini yang memiliki jaringan terluas di Indonesia. Dalam kebijakan itu, penurunan tarif interkoneksi telepon sebesar 26% menjadi Rp 204.

Di mata Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), dampak terbesar akan dialami oleh Telkom, terutama dalam jangka panjang.

“Berdasar perhitungan FITRA, akibat revisi biaya interkoneksi itu, secara jangka panjang Telkom akan mengalami pegurangan bai sari sisi pendapatan, EBITDA, maupun laba bersih. Jadi Telkom yang paling menderita dari kebijakan ini,” cetus Sekjen FITRA Yenny Sucipto, di Jakarta, Senin (7/11).

Dari sisi pendapatan, kata Yenny, ada pengurangan mencapai Rp109 triliun, sedang dari sisi EBITDA mencapai Rp103 triliun dan dari laba bersih sebesar Rp79 triliun.

“Karena memang faktanya, penurunan biaya interkoneksi berdampak langsung ke penurunan pendapatan di sisi voice domestik, yaitu interkoneksi, retail, dan transit,” kata Yenny.

Menurutnya, dengan bebijakan ininjuga akan berdampak ke penurunan terhadap bisnis retail. Berdasar data FITRA sendiri, dari sisi industri akan mengalami penurunan. Namun karena Telkom yang paling besar coverage-nya, maka penurunan industri juga penurunan kinerja Telkom.

Perkiraan FITRA, untuk dampak bisnis, jika dihitung dari September-Desember 2016, akan terjadi penurunan pendapatan sebesar Rp2 triliun dan di tahun depan mencapai Rp17,9 triliun.

Dari dampak EBITDA dari Rp1,85 triliun (2016) ke Rp16,97 triliun (2017). Dan dampak net income dari Rp526 miliar (2016) ke Rp12,87 triliun (2017).

Dari dampak industri, dari sisi investasi dari Rp129 miliar (2016) ke Rp3,15 triliun (2017). Dari sisi retained income dari Rp184 miliar (2016) ke Rp4,5 triliun (2017).

Dengan penurunan dari sisi bisnis dan industri tentu saja berdampak ke masalah penerimaan negara.

“Dari sektor pajak baik itu dari PPh, PPN, atau juga PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) bisa ada pengurangan mencapai Rp2,3 triliun, sedsng dsri dividen mencapai Rp51,6 triliun,” jelas Yenny.

Dia menambahkan, akibat penurunan kinerja perusahaan, akan berdampak dalam turunnya dalan kecepatan pembangunan dan kemampuan investasi dalan lima tahun ke depan akan mengalami penurunan sebesar Rp19,5 triliun.

“Sehingga pada akhirnya, penurunan kecepatan pembangunan juga berdampak terhadap penurunan kualitas layanan dan pembangunan teknologi telekomunikasi bahi masyarakat Indonesia,” pungkasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka