Jakarta, Aktual.com – Kemenangan Donald Trump dalam proses pemilihan presiden di Amerika Serikat (AS) mencuatkan kekhawatiran bagi negara-negara seperti Indonesia.
Pemerintah Indonesia pun tetap harus mengantisipasi dampak-dampak susulan dari proses politik di Paman Sam itu. Apalagi saat ini pasar sudah bereaksi negatif.
“Kita itu yang penting, tetap menjaga fundamental ekonomi kita agar tetap baik. Dalam situasi begini, Bank Indonesia (BI) termasuk yang harus pantau (kondisinya) dengan sangat cermat. Termasuk juga kita dari pemerintah dan OJK juga,” tandas Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution di kantornya, Jakarta, Rabu (9/11).
Pemantauan yang serius oleh BI ini, kata Menko, sangat penting, karena bisa jadi banyak implikasi-implikasi yang bisa datang tak terduga.
“Sehingga kita bisa tetap waspada dan cepat bereaksi kalau ada hal-hal yang di luar perkiraan (terjadi),” jelas dia.
Meski begitu, Darmin enggan untuk menyebut langsung kondisi di luar perkiraan itu. Menurutnya, dengan terpilihnya Trump telah menyulut reaksi di pasar yang tak positif.
“Reaksi pasar relatif sesaat. Tapi reaksi pasar mungkin di sana juga tidak terlalu positif. Makanya dengan kondisi kita berarti tak rugi-rugi amat ya. Tapi yang jelas pemerintah tidak ada rasa khawatir” jelas dia.
“Jadi memang (dengan terpilihnya Trump itu) ada pengaruhnya. Makanya yang harus kita jaga ekonomi kita. Dan tolong catat, bahwa ekonomi kita dalam keadaan baik-baik saja. Jadi, kita menganggap tidak ada yang betul-betul mengkhawatirkan, namun tetap waspada,” tandas Darmin.
Untuk itu, kata dia, dengan Pilpres di AS itu, jangan dianggap hal ini sebagai bencana ekonomi yang terjadi dalam waktu panjang. Makanya, dengan itu tak mungkin juga dalam waktu dekat The Fed akan menurunkan suku bunganya.
“Saya ga yakin (suku bunga The Fed turun). Karena situasinya kondisi market masih tidak bagus. The Fed akan menaikkan tingkat suju bunga kalau ekonominya membaik,” jelas dia.
Indikator perbaikan ekonomi itu, kata dia, dilihat dari indikator pertumbuhan, pekerja, dan laju inflasi. “Sementara laju inflasi di sana kan sudah kerendahan. Sehingga harus lebih tinggi lagi di atas 2%,” ungkapnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan