Bogor, Aktual.com– Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong Unit Usaha Syariah (UUS) untuk segera bertransformasi menjadi Bank Umum Syariah atau BUS, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

“Terhitung 2023 seluruh UUS harus berubah menjadi BUS, ini sesuai dengan amanat UU Perbankan Syariah,” kata Direktur Penelitian, Pembangunan, Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah, Deden Firman H dalam acara pelatihan jurnalis yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berlangsung hingga Minggu (13/11), di Bogor, Jawa Barat.

Ia mengatakan terhitung sejak September 2016, terdapat 13 BUS, dan 21 UUS dan 165 BPR Syariah. Agustus lalu, jumlah BUS hanya 12, sedangkan UUS ada 22, namun sejak bergabungnya UUS BPD Aceh menjadi Bank Aceh Syariah, jumlah BUS menjadi 13 dan UUS ada 21 unit.

Berdasarkan UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, seluruh UUS wajib menjadi BUS. Masih tersisa waktu tujuh tahun, agar UUS mempersiapkan diri untuk bergabung menjadi bank umum syariah.

“UUS sudah harus mempersiapkan diri, untuk bergabung menjadi BUS. Harusnya dari sekarang RUPS sudah membahas ini, sehingga Desember 2023 sudah menjadi BUS,” katanya.

Ia mengatakan, ada tiga langkah UUS untuk menjadi BUS yakni dengan cara ‘spin off’ atau memisahkan diri dari bank induk untuk menjadi BUS. UUS yang sudah memisahkan diri tidak bisa lagi kembali ke bank induk, atau setelah jadi syariah tidak bisa kembali menjadi konvensional.

Langkah kedua yakni konversi, aset UUS dilikuiditas oleh bank syariah lain, dan atau merger, yakni bergabungnya sejumlah UUS yang memiliki modal kecil untuk membentuk BUS tersendiri yang berasal dari gabungan sejumlah UUS.

“Karena ada persyaratan untuk mendirikan BUS harus memiliki modal penyerta senilai Rp1 triliun. Tetapi kalau spin off ada insentif, hanya Rp500 miliar,” katanya.

Apabila bank induknya tergolong kecil, ada ketentuan penyerta modal maksimal 20 persen dari modal induknya. Jadi, induk mempunyai modal Rp2,5 triliun, jika di spin off dengan modal Rp500 miliar.

“Kalau modal induk belum Rp2 triliun di 2023, maka perlu ada suntikan dari bank induk ketika UUS berubah menjadi BUS,” katanya.

Menurut Deden, dari kajian yang dilakukan OJK, terdapat 15 UUS yang modalnya belum mencapai Rp2,5 triliun. Solusinya, diukur pertumbuhan di masa kini, apabila ada kesulitan, akan ada suntikan modal dari bank induknya, misalnya BPD milik Pemda, otomatis suntikan modal berasal dari pemerintah.

Beberpaa UUS yang dimiliki BPD bergabung, misalnya di Sumatera, rapatkan barisan, seluruh UUS sumatera jadi Bank Sumatera Syariah, atau di Kalimantan jadi Bank Kalimantan Syariah, ini bisa jadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan modal minimalnya, jadi bisa terpenuhi beberpa bank,” katanya.

Syarat berikutnya, lanjut Deden, UUS yang telah berganti menjadi BUS, tidak boleh mengurangi layanannya seperti waktu menjadi UUS. Pelayanan harus optimal, dan bank induk dapat membantu memasarkan produk BUS sebagai mitranya.

Ia menambahkan, apabila UUS sudah spin off, sudah dilepas asetnya, diharapkan pertumbuhan BUS menjadi cepat dan penambahan aset juga tumbuh positif.

“Ini menjadi tantangan tersendiri bagi OJK untuk spin off, jika tiap tahun satu UUS spin off, butuh waktu lama, sisa waktu minimal tujuh tahun, artinya butuh tiga UUS yanb spin off setiap tahunnya,” kata dia.(Ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara