Jakarta, Aktual.com – Elektabilitas pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat semakin merosot. Dalam hasil survei yang dirilis Lembaga Konsultan Politik Indonesia (LKPI), elektabilitas pasangan petahana tersebut kini tersisa 24,6 persen.
Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun mengatakan ada faktor lain yang menyebabkan elektabilitas Ahok-Djarot terus menurun. Yakni, lambannya partai politik pendukung dalam merespon isu negatif terhadap pemberitaan Ahok. Selain terpaan kasus Sumber Waras, penggusuran, Reklamasi, dan Surat Al-Maidah 51.
Ia menilai, ada fenomena “liquid state” atau masyarakat cair di Jakarta dengan ditandai prilaku mudah beralihnya pikiran terkait informasi dalam pemberitaan di media massa.
“Dalam tiga bulan ini, intensitas informasi yang diterima masyarakat adalah negatif tentang Ahok. Karena itu menjadi rasional ketika pemilih bergeser yang jumlahnya 43,6 persen (berdasarkan survei LKPI),” ujar Ubedilah dalam konferensi pers hasil survei LKPI di Jakarta, Senin (14/11).
Ubedilah pun mengkritik ketua umum parpol pendukung yang tidak berkomentar apapun dalam merespon pemberitaan negatif terhadap Ahok. Sehingga, kata dia, kondisi tersebut berbahaya dalam sudut pandang politik.
Menurut Direktur Pusat Studi Sosial Politik ini, terlambatnya respon tersebut menimbulkan legitimasi bahwa seolah-olah Ahok bersalah dalam kasus-kasus yang sedang menjeratnya.
“Megawati (Ketua Umum PDIP) kapan berkomentar, dalam teori politik kondisi itu berbahaya. Respon telat menyebabkan seolah-olah ada legilitasi bahwa Ahok bersalah,” kata Ubedilah.
Ia berpendapat, masyarakat memang menyukai kinerja Ahok, namun kebanyakan tidak suka dengan gaya komunikasi gubernur nonaktif DKI Jakarta itu.
“Jadi, komunikasi politik Ahok perlu diperbaiki. Orang suka kinerja tapi gaya komunikasi politik masih respon negatif. Saya kira setelah 411 Ahok berpikir jika mau bicara blak-blakan,” tuturnya.
Selain kedua hal diatas, yang menjadikan Ahok tersungkur adalah isu kampanye-nya yang nampak berjalan sporadis.
“Isu kemiskinan tidak dibicarakan Ahok secara detil, padahal problem Jakarta itu mengapa ada 384ribu orang miskin. Nah, Ahok harus punya jawaban itu. Reklamasi itu problem orang kaya,” ketus Ubedilah.
Terakhir, tambah dia, serangan politik terhadap mantan bupati Belitung Timur itu sangat gencar. Sehingga orang yang awalnya simpati dengan Ahok jadi berpikir ulang.
“Ahok sangat populer tapi elektabilitas turun. Jadi, semua punya kans yang sama. Yang menentukan adalah bagaimana semua kandidat biaa mengambil suara 41 persen (pemilih berubah) itu,” pungkasnya.[Nailin In Saroh]
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid