Kericuhan ketika pengukuran lahan proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka (Istimewa)

Yogyakarta, Aktual.com – Kecaman keras terus mengalir menyusul tindakan represif aparat kepolisian terhadap ratusan petani terdampak proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka.

“Saya mengecam betul cara-cara kekerasan aparat pemerintah dalam pengadaan tanah agraria seperti di Sukamulya, sudah cukuplah cara ini dilakukan saat transisi reformasi kemarin,” tegas Kepala Pusat Studi Hukum Agraria (PSHA) UII Yogyakarta, Mukmin Zakie, Minggu (20/11).

Pendekatan kekerasan atas sengketa agraria seperti ini menurutnya sudah tidak boleh lagi dilakukan, pola orde baru yang suka memaksa kehendak. Dalam UU 2/2012, kata Mukmin, semua hal sudah dijamin termasuk proses pengadaan tanah wajib menghormati harkat dan martabat pemilik tanah.

Kendati demikian, jika mental aparatnya selalu ingin ‘cepat selesai’ lantas membenarkan pendekatan kekerasan atau keamanan, justru bakal membuat masalah jadi semakin kacau.

“Petani ditembaki gas air mata apa bedanya dengan yang terjadi di Rohingya? Kebebasan dan hak asasi mereka sama-sama diambil, diinjak. Ketika petani Sukamulya kehilangan hak-haknya sama aja disuruh mati pelan-pelan, persis Rohingya,” kecam Mukmin.

Selain tak manusiawi, aparat juga dinilai telah lakukan pemborosan. Sebab, gas air mata mahal harganya terlebih pengadaannya memakai uang negara. Dengan kata lain menggunakan uang dari hasil pajak rakyat yang salah satunya petani.

Mukmin memaparkan, gas air mata hanya dapat digunakan untuk situasi terbatas misal ada ancaman ketertiban dan perusakan fasilitas umum, biasanya digunakan saat kerumunan massa lebih besar ketimbang aparat sehingga berpotensi chaos.

“Seharusnya ini diusut, berapa uang negara yang digunakan (gas air mata) yang asalnya dari petani juga yang bayar pajak,” sindirnya

Laporan: Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby