Ribuan buruh bergerak dari kawasan Merdeka Barat menuju istana negara saat melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta, Selasa (1/9). Aksi ini digalang oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia yang menuntut agar Jaminan Hari Tua (JHT) diperbaiki agar tidak merugikan buruh. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengaku akan mengajukan gugatan perdata dan tuntutan pidana terhadap pihak yang telah mengkriminalisasi 26 aktivis buruh setelah putusan hakim yang menyatakan bebas dan rehabilitasi.

“Terima kasih kepada majelis hakim yang telah memutuskan perkara ini dengan adil,” kata Iqbal melalui pesan singkat diterima di Jakarta, Rabu (23/11).

Iqbal mengatakan aksi damai 30 Oktober 2015 adalah upaya buruh dalam menyampaikan pendapat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, yang dilindungi undang-undang, konstitusi dan deklarasi universal.

Cara-cara damai yang dilakukan buruh merupakan bagian dari dinamika dan tanggapan cepat dalam upaya melakukan perubahan terhadap peraturan yang dinilai tidak adil.

“Dalam aksi tersebut, peserta aksi sebenarnya sudah menaati imbauan polisi. Mobil komando buruh pun sudah bergerak mundur meninggalkan lokasi, tetapi terhalang peserta aksi yang kacau karena gas air mata.”

Iqbal menilai justru polisi yang bertindak berlebihan. Polisi yang menggunakan kaos bertuliskan Turn Back Crime menangkap peserta aksi yang ada di dekat dan di dalam mobil komando buruh.

Menurut Iqbal, polisi menggunakan pendekatan represif dalam menangani aksi tersebut dengan membubarkan dengan cara yang tidak layak, merusak mobil komando buruh bahkan melakukan kekerasan.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus bebas 26 aktivis yang melakukan aksi pada 30 Oktober 2015 dari semua dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum.

Aksi 30 Oktober 2015 menuntut pembatalan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang dinilai menghilangkan hak pekerja untuk merundingkan upah minimum.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu