Jakarta, Aktual.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menginventarisir beberapa aturan sederhana terkait unjuk rasa, namun melanggar Undang-Undang (UU). Misalnya terkait pembatasan waktu unjuk rasa dan penggunaan jalan protokol.
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa memaparkan, dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 sama sekali tidak mengatur mengenai batas waktu suatu demonstrasi. Dalam aturan tersebut, unjuk rasa boleh dilakukan malam hari dengan berkoordinasi dengan pihak aparat.
“Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 yang membatasi aksi hingga pukul 18.00 bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 9 Tahun 1998. Hal tersebut terlihat dalam penjelasan Pasal 13 ayat 1 huruf (b), yang menjelaskan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan pada malam hari dengan berkoordinasi terlebih dahulu dengan aparat keamanan,” papar Alghiffari di Jakarta, Rabu (23/11).
Kemudian ihwal larangan unjuk rasa bilamana mengganggu ketertiban umum atau lalu lintas. Pada dasarnya, tidak ada unjuk rasa yang tidak mengganggu.
Maka dari itu diperlukan sosialisasi ke masyarakat dan antisipasinya, yang mana merupakan tugas polisi sebagaimana termaktub dalam Perkap Nomor 9 Tahun 2008.
“Sudah jadi pengetahuan umum bahwa demonstrasi sedikit banyak akan mengganggu arus lalu lintas. Memperlancar arus lalu lintas, memberitahu kepada masyarakat arus alternatif ketika demonstrasi merupakan tugas Kepolisian,” terangnya.
Mencuatnya pandangan soal unjuk rasa ini berawal dari adanya maklumat Kapolda Metro Jaya, Irjen Muhammad Iriawan, untuk menanggapi rencana demonstrasi yang diwacanakan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI).
Dalam maklumat itu, Kapolda Metro menyinggung soal potensi makar dalam aksi GNPF MUI yang rencananya digelar para 2 Desember 2016 nanti. Selain itu, Kapolda juga menghimbau agar dalam orasi nanti tidak ada pihak yang menyinggung ke arah SARA.
Laporan: M Zhacky Kusumo
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby