Jakarta, Aktual.com – Tuntutan publik untuk meminta Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menistakan AlQuran dan Agama Islam untuk ditahan telah memicu kemarahan publik.
Aksi demonstrasi pada 4 November lalu yang teryata diikuti jutaan orang sebagai bukti kekecewaan publik tak hanya terhadap Ahok, tapi juga pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
“Faktor Ahok saya rasa sebagai pemicu ledakan protes dan demonstrasi untuk menuntut keadilan kepada penguasa. Namun di balik itu, umat Islam juga merasa Istana Negara sudah dikuasai oleh minoritas asing dan aseng yang mengatur agenda politik pemerintahan pusat,” ujar Ketua Pusat Kajian Ekonomi Politik UBK, Salamuddin Daeng, dalam keterangan yang diterima, Jakarta, Minggu (27/11).
Menurut dia, asing dan aseng sekarang tidak hanya menguasai sumber daya ekonomi, namun telah sanggup menancapkan pengaruh politiknya secara dominan dalam kekuasaan pemerintahan Jokowi. Mereka justru menjalankan kekuasaan ini dengan arogan.
“Bahkan mereka juga masih melakukan cara-cara sogok dan suap dijadikan senjata dalam menguasai dan mengendalikan aparatur negara dan pemerintahan baik sipil maupun yang bersenjata,” kecam Salamuddin.
Itulah mengapa, kata dia, umat Islam mencurigai bahwa seberapa besarpun tuntutan untuk mendesak Ahok ditangkap dan diadili, tampaknya sulit terwujud. Pasalnya, mereka curiga seluruh apatur hukum telah dirusak oleh para taipan aseng dengan sogokan dan suap.
“Perilaku asing dan taipan aseng inilah yang dianggap telah mengotori politik negeri ini,” cetusnya.
Menurutnya, sejak era reformasi asing dan aseng kembali membangun supremasi politik mereka, setelah menghancurkan ekonomi nasional pada 1997, mencuri uang negara melalui korupsi ratusan triliun melalui dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
“Kini, asing dan aseng kembali membangun penguasaan sumber daya ekonomi, tanah, modal, keuangan dan perdagangan dan media massa,” keluhnya.
Sementara, kalangan pribumi yang sebagian besar adalah umat Islam merasa terpinggirkan serta kehilangan akses terhadap sumber daya ekonomi strategis dan kesejahteraan.
Amandemen UUD 1945 itu, kata dia, menjadi pintu masuk bagi seluruh agenda neokolonialisme dan imperialisme (Nekolim) tela diikuti lahirnya berbagai UU neoliberal.
Yakni, UU bidang ekonomi, UU investasi, UU keuangan, UU Perbankan, UU Perdagangan, UU bidang energy, UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN), UU tentang kekayaan intelektual, merek&paten, UU Otonomi Daerah, dan lain sebagainya, adalah pelembagaan atas kepentingan ekploitatif mereka.
Yang paling menyedihkan, ujarnya, penguasaan asing dan taipan aseng atas tanah merupakan manifestasi paling nyata dari Nekolim. Padahal tanah adalah fator utama kedaulatan negara.
Tapi saat ini, dia menambahkan, lebih dari 95 juta hektar diserahkan kepada mereka dalam bentuk kontrak kerjasama minyak dan gas bumi (KKS) dan sebanyak 60% di daratan. Lalu, sebanyak 40 juta hektar dalam bentuk kontrak karya (KK), kuasa pertamangan, izin pertambangan, Izin usaha pertambangan, dab lainnya.
“Ternyata sebanyak 30 juta hektar diserahkan dalam bentuk izin penguasaan hutan seperti HPH, HTI, HTR, sebanyak 13 juta hektar untuk izin perkebunan sawit,” ungkap dia.
Hal itu belum termasuk izin penguasaan tanah untuk property di perkotaan dan izin-izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. “Saat ini penguasaan asing dan aseng telah mencapai 70% daratan Indonesia,” keluhnya.
Bahkan, katanya, sebuah perusahaan milik taipan menguasai tanah seluas 2,5 juta hektar atau hampir tiga kali luas pulau Lombok NTB. Apalagi, beberapa daerah Kabupaten Kota di Indonesia telah mengeluarkan izin dan konsesi atas tanah melebihi luas wilayah administrasi daerah tersebut.
Modal asing dan taipan aseng itu, telah memanfaatkan hak penguasaan tanah selama 95 tahun sebagaimana yang diatur dalam UU no 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Mereka telah menjadikan tanah dan kekayaan alam di dalamnya sebagai jaminan utang.
“Kelicikan asing dan aseng ini terlihat dari mendorong UU sistem mata uang dan devisa bebas untuk memgakumulasi kekayaan mata uang asing yang ditaruh di luar negeri. Juga menggolkan UU pengampunan pajak untuk melegalisasi kekayaan haram mereka,” pungkasnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan