Jakarta, Aktual.com – Ketua Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno (UBK), Salamuddin Daeng menyebut saat ini, segala lini baik itu perekonomian atau politik sudah digenggam kelompok asing dan aseng.
Setelah sukses meletakkan dasar-dasarnya pada era kepemimpinan BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ternyata supremasi asing dan taipan aseng itu telah mencapai bentuk terbaiknya pada era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Bukti kekohohan semangat neo kolonialisme dan liberalisme (nekolim) yang digemborkan pihak asing dan aseng itu terlihat dari seluruh program Pemerintahan jokowi saat ini. Baik yang termuat dalam Nawacita, paket kebijakan ekonomi, program pengampunan pajak (tax amnesty).
“Proyek itu tidak lain adalah merupakan proyek asing dan para taipan aseng untuk mengangkangi seluruh sektor ekonomi nasional,” ujar Salamudding di Jakarta, Minggu (27/11).
Secara kasat mata, kata dia, ekonomi Indonesia dewasa ini telah jatuh sepenuhnya di bawah penguasaan asing dan kendali para taipan aseng. Mereka telah mengambil pola kolonial dalam menguasai sumber daya ekonomi tersebut.
“Makanya, untuk memuluskan jalan mereka, proyek-proyek tersebut berhasil dikemas dalam konsep ‘trisakti gadungan’,” kritik Salamuddin.
“Trisakti Gadungan” itu berisi, pertama, pembangunan ditopang investasi asing; kedua, pemenuhan kebutuhan rakyat oleh barang-barang impor; dan ketiga, keuangan negara dan pemerintah bersandar pada utang luar negeri.
Dan saat ini sudah terlihat, sebagian besar tanah telah jatuh ke tangan asing, sumber daya alam dikeruk dan diangkut ke luar negeri dan sebagian besar keuantungan jatuh ke tangan mereka dan ditempatkan di lembaga keuangan mereka dan di luar negeri.
“Pribumi dan umat islam hanya disisakan sampah, limbah dan kotoran. Para birokrat negara menjadi piaraan untuk melegitimasi seluruh praktik penguasaan ekonomi cara kolonial tersebut,” kecamnya.
Sementara liberalisasi impor, kata dia, telah menjadikan asing dan taipan aseng sebagai sindikat utama yang mengendalikan impor. Liberalisasi investasi telah membuka pintu lebar-lebar asing dan taipan aseng untuk menguasai tanah dan sumber daya alam tadi.
Sedangkan privatisasi sektor publik memberi kesempatan leluasa kepada mereka untuk mengeruk keuangan publik dari bisnis infrastruktur, energi, pendidikan dan kesehatan.
“Dan ironisnya, pada saat modal asing dan taipan aseng semakin kaya raya, justru negara semakin hari semakin kurus kering. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) mengalami defisit yang semakin melebar,” tandas Salamuddin.
Tapi di satu sisi, tegas dia, target penerimaan pajak dan penerimaan negara lainnya tidak pernah tercapai. “Ini membuktikan bahwa neoliberalisme telah membangkrutkan negara,” kecamnya.
Sejauh ini, nekolim ini telah memaksa pemerintahan memburu sumber pembiayaan pemerintahan dari utang. Bayangkan pada tahun pertama perintahan Jokowi, di tahun 2015, harus berhutang lebih dari Rp500 triliun untuk menutup kekurangan anggaran.
Selanjutnya tahun 2016, pemerintah mencari utang hingga Rp725 triliun untuk menutupi kekurangan uang dalam menjalankan pemerintahan. Dan utang ini telah mencapai lebih dari dua kali utang pemerintahan Orde Baru selama 30 tahun pada tingkat kurs saat ini.
“Di saat negara lemah, modal asing dan sindikat tapian aseng justru memperoleh kekuasaan politiknya secara sempurna dengan mengatur seluruh pemerintahan yang pernah ada pada era reformasi,” pungkas dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan