Jakarta, Aktual.com – Gerakan neo kolonialisme dan liberalisme (nekolim) sejak pasca reformasi 1998 di Indonesia sudah cukup masif. Tak hanya hanya sudah memengaruhi pemerintahan daerah tapi juga sudah bercokol di belakang Istana.
Di DKI Jakarta, nekolim sendiri dikuatkan dengan sosok Gubernur DKI non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kebijakan Ahok terus merugikan rakyat kecil tapi justru menguntungkan para pengusaha, taipan-taipan dari China, terutama di proyek reklamasi.
Menurut pengamat ekonomi politik dari Universitas Bung Karno (UBK), Salamuddin Daeng, proyek reklamasi di DKI merupakan bagian dari komersialisasi barang atau ruang publik.
“Sehingga yang ada, malah membuka kesempatan kepada mereka yaitu kelompok asing dan taipan aseng itu untuk membangun kerajaan binsis melalui komersialisasi tanah, proyek infrastruktur, proyek reklamasi dan bisnis properti,” ujar dia di Jakarta, Minggu (27/11).
Malahan kata dia, proyek-proyek di bidang reklamasi dan property telah diagunkan ke pasar keuangan, bahkan sebelum izin mereka clear dan tuntas.
“Sehingga harga barang publik melambung tinggi, harga rumah dan apartemen juga melambung tinggi. Ini bagian dari kebijakan nekolim di kepemimpinan Ahok di Jakarta,” cetus dia.
Dengan proyek-proyek ambisius dari para taipan aseng itu, korbannya kalangan pribumi dan umat Islam disingkirkan dari tanah-tanah mereka sendiri.
Seperti melalui kebijakan penggusuran, pajak tinggi, dan harga properti yang tinggi. “Karena sektor properti di Ibukota ini menjadi ajang spekulasi dan permainan asing dan taipan aseng dalam membangun kerajaan bisnis mereka lebih kokoh dari kekuasaan negara,” tandas dia.
“Makanya, jangan aneh jika kemudian proyek reklamasi tidak akan dihentikan di bawah kepemimpinan Ahok. Padahal dulu, (Menko Maritim) Rizal Ramli sudah menghentikannya,” cetus Salamuddin.
Apalagi saat ini, katanya, sebagian besar mega proyek infrastruktur jatuh ke tangan asing dan tapian aseng. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di banyak daerah.
Menurutnya kepemilikan tanah dan kontrak proyek infrastruktur lain seperti tol, listrik, pelabuhan, bandara, telah dijadikan jaminan oleh utang oleh mereka ke pasar keuangan internasional.
Kondisi ini memang terjadi pasca adanya reformasi yang kebablsan pada 1998 silam. Karena hal ini telah membuat negara lemah. Negara tidak lagi dapat mengatur ekonomi, perdagangan dan keuangannya.
“Juga negara tak lagi memiliki kemampuan dalam mengatur dan menjaga stabilitas ekonomi. Dan di sektor pangan, negara tidak dapat mengendalikan harganya, termasuk harga energi dan harga barang publik lainnya,” ungkap dia.
Bahkan menurutnya, keperkasaan Ahok dengan proyek-proyek menyengsarakan rakyat lainnya di DKI itu, tak lepas dari sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Itulah mengapa, ketika aksi umat Islam untuk membela Al-Quran yang sudah dinistakan Ahok, maka para pendemo telah menempatkan Ahok dan pemerintahan Jokowi dalam satu paket perlawanan terhadap dominasi asing dan taipan aseng itu.
“Kedua orang ini memang tak bisa dipisahkan sejak keduanya memenangi Pilkada DKI Jakrta hingga kini. Makanya diyakini pula bahwa Ahok sulit diadili secara fair kalau Jokowi masih memegang tampuk kekuasaan tertinggi di republik ini,” bebernya.
Keduanya dipandang, telah didukung penuh oleh asing dan taipan aseng dengan sumber keuangan yang besar untuk melanggengkan neokolonialsime dan imperialisme bangsa Indonesia.
“Jadi menurut saya, dinamika yang terjadi saat ini hanyalah pengulangan sejarah bangkitnya kesadaran pribumi dan umat Islam untuk melawan nekolim. Sikap membela bangsa dan negara ini dalam rangka mengembalikan kedaualatan negara ke tangan rakyat,” pungkasnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh: