Jakarta, Aktual.com-Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyesalkan pembatalan Film Jakarta Unfair dan Jihad Selfie oleh Panitia Documentary Days Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI). Film tersebut dinilai lebih banyak mengandung unsur swa-sensor (self censorship) dari pihak Panitia dan Pengelola Harian Studio XXI Taman Ismail Marzuki (TIM).
Dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/11), Ketua Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno menyatakan, pembatalan pemutaran kedua film oleh Panitia sangat berbeda kasusnya dengan peristiwa pelarangan acara Festival Belok Kiri.
Pelarangan Festival Belok Kiri, Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (UP PKJ TIM) saat itu memberikan surat resmi pelarangan setelah mengalami tekanan yang nyata dan resmi dari pihak kepolisian.
“Pada saat itu, DKJ berada di sisi para seniman dan penyelenggara acara, menolak pelarangan tersebut,” tegas Irawan.
Dalam kasus pembatalan Film Jakarta Unfair dan Jihad Selfie, kata dia, apabila pihak Panitia berkoordinasi sejak awal dengan DKJ dan Komite Film DKJ maka pihaknya lebih mudah dan lebih langsung bisa melakukan pendampingan serta negosiasi.
Terutama menyangkut hal yang diperlukan. Misalnya karena terjadi tekanan dan pelarangan pemutaran film. DKJ dalam hal ini akan mendorong agar pemutaran tetap dilaksanakan dan tidak perlu ada pembatalan.
“DKJ punya preseden berhasil menyelenggarakan acara-acara yang memiliki risiko tinggi ditekan oleh aparat Negara, seperti acara pemutaran film Senyap,” kata Irawan.
Film Senyap Karya Joshua Oppenheimerl diputar pada 10 November 2014 dan dihadiri sekitar 2000 pemirsa dalam 3 kali pemutaran. Sebelum itu juga pernah menggelar diskusi buku ‘Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui Sastra dan Film’ karya (alm) Wijaya Herlambang pada 17 Januari 2014.
Diungkapkan Irawan, koordinasi semua pihak dan komitmen DKJ untuk menjadikan ruang publik di wilayah kerja DKJ sebagai ruang bagi kebebasan berekspresi telah berhasil mewujudkan acara-acara yang rawan tekanan Negara ataupun Ormas tertentu di Taman Ismail Marzuki.
“Maka, alangkah lebih baik jika para seniman atau penyelenggara acara kesenian yang akan menggunakan ruang publik di TIM untuk berkoordinasi dengan DKJ,” kata dia.
“Kebebasan di ruang publik bagi kesenian dan kebudayaan ini akan terwujud kokoh dan berkelanjutan karena kerjasama semua pihak pengampu kepentingan kesenian dan kebudayaan di Indonesia,” sambung Irawan.
DKJ, lanjut dia, terbuka bagi pemutaran film Jakarta Unfair dan Jihad Selfie ataupun film-film serupa yang memiliki nilai pemajuan seni, budaya dan demokratisasi Indonesia di lingkungan TIM dan ruang publik bagi kesenian di dalam naungan tanggungjawab kami.
Diakuinya pula, ada banyak perubahan administrasi sejak manajemen TIM beralih dari BP PKJ TIM menjadi UP PKJ TIM dengan melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 109 Tahun 2014.
Pergub 109 mencakup Gedung Kesenian Jakarta, Gedung Wayang Orang Bharata serta gedung pertunjukan Miss Tjitjih. DKI sedang bekerjasama dengan UP PKI TIM untuk mensosialisasikan tata kelola ini kepada masyarakat luas agar kesalahpahaman seperti ini tidak terjadi lagi.
*Soemitro
Artikel ini ditulis oleh: