Jakarta, Aktual.com – Indonesia for Global Justice menginginkan mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) dapat dihapus dari Perjanjian Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) antara ASEAN dan sejumlah negara mitra.
“Indonesia for Global Justice meminta agar RCEP tidak memasukan mekanisme ISDS yang sudah dikritik banyak negara, termasuk oleh banyak negara anggota RCEP itu sendiri,” kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti, Rabu (7/12).
ISDS adalah mekanisme penyelesaian perselisihan antara investor dan pemerintah, di mana investor asing diperbolehkan menggugat negara.
Rachmi mengingatkan, kritik terhadap ISDS telah diikuti aksi beberapa negara untuk mengkaji ulang mekanisme tersebut dan membuat model perjanjian investasi baru seperti yang dilakukan oleh India dan Afrika Selatan.
“Bahkan Australia juga berposisi untuk mempertimbangkan mekanisme ISDS secara kritis dalam seluruh kesepakatan perdagangan bebasnya,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa di ASEAN, hanya Indonesia yang telah memiliki langkah maju dalam merespon mekanisme ISDS dengan membuat draf perjanjian investasi model baru yang dianggap lebih seimbang antara kepentingan investor dengan kebijakan negara melalui prinsip-prinsip yang mempromosikan keberlanjutan pembangungan.
Rachmi juga mendorong ASEAN sebagai satu kawasan seharusnya bisa memperkuat posisi bersama untuk tidak membuat posisi yang akhirnya hanya menguntungkan beberapa Negara anggota ASEAN saja tetapi merugikan sebagian besar kepentingan negara anggota ASEAN lainnya.
Mekanisme itu, ujar dia, akan membuat negara “tersandera” oleh ancaman investor asing jika membuat kebijakan nasional yang dinilai merugikan pihak investor.
Michael Damar berpendapat, pengaturan perlindungan investasi di dalam RCEP akan berdampak juga bagi kepentingan buruh.
“ISDS akan dijadikan upaya bagi investor asing untuk menekan Negara agar tidak mengeluarkan kebijakan pengupahan yang merugikan investor, atau negara digugat jutaan hingga miliaran dolar,” katanya.
Dia mencontohkan, kasus yang terjadi di Mesir yang digugat oleh sebuah perusahaan asal Prancis atas dasar perjanjian perlindungan investasi antara Mesir dan Perancis.
Perusahaan tersebut menuntut Mesir untuk membayarkan kerugian sebesar 110 juta dolar AS karena Pemerintah Mesir memberlakukan peraturan baru mengenai kenaikan upah minimum buruh di mesir, yang dianggap merugikan kepentingan perusahan Veolia. (ant)
Artikel ini ditulis oleh:
Antara