Hamas founder Sheikh Ahmed Yassin speaks to reporters in his home in Gaza Strip June 24, 2002, after being placed under house arrest by the Palestinian Authority. The announcement to put Yassin under arrest followed Israeli and international pressure on Palestinian President Yasser Arafat to crack down on militants waging an almost 21-month-old uprising against Israeli occupation. REUTERS/Ahmed Jadallah

Palestina, yang masih berjuang untuk merdeka dari penjajahan Israel, tak pernah kekurangan tokoh pejuang. Salah satu tokoh terkemuka yang syahid dalam melawan Israel adalah Sheikh Ahmad Yassin. Yassin adalah pendiri sekaligus pemimpin spiritual Hamas (Gerakan Perlawanan Islam) yang berbasis di Jalur Gaza, daerah pendudukan Israel.

Tokoh yang bernama lengkap Sheikh Ahmad Ismail Hassan Yassin ini lahir pada 1937 dan gugur oleh serangan helikopter militer Israel pada 22 Maret 2004. Yassin mendirikan organisasi paramiliter sekaligus partai politik Hamas, yang meraih popularitas dalam masyarakat Palestina.

Hamas menjadi kekuatan alternatif di Palestina selain PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) pimpinan Yasser Arafat. Popularitas Hamas menguat, ketika para pimpinan PLO dianggap korup, birokratis, oportunis, dan mengalami kemunduran terus-menerus dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Hamas bukan cuma bisa bertempur melawan Zionis Israel, tetapi juga mendirikan rumah sakit, sekolah, perpustakaan, dan pelayanan umum lain. Hamas juga mengklaim bertanggung jawab atas sejumlah aksi serangan bunuh diri ke Israel. Akibatnya, Amerika, Israel, Uni Eropa, Jepang, dan Kanada menyebut Hamas sebagai “organisasi teroris.”

Ahmed Yassin lahir di al-Jura, sebuah desa kecil dekat kota Ashkelon, Palestina, yang waktu itu masih di bawah Mandat Inggris. Tanggal kelahirannya tidak diketahui pasti. Menurut paspor Palestinanya, ia lahir pada 1 Januari 1929, namun ia mengaku sebenarnya lahir pada 1937.

Ayahnya, Abdullah Yassin, meninggal ketika sang putra baru berusia tiga tahun. Sesudah itu, di lingkungannya ia dikenal sebagai Ahmad Sa’ada, mengikuti nama ibunya Sa’ada al-Habeel. Ini untuk membedakan dirinya dari anak-anak lain dari almarhum ayahnya, yang memiliki empat istri.

Secara keseluruhan, Yassin memiliki empat saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Awalnya, keluarga Yassin adalah dari kelas menengah petani yang cukup berada. Namun, Yassin dan seluruh keluarganya terpaksa mengungsi ke Gaza, dan tinggal di kamp pengungsi al-Shati, sesudah desanya direbut oleh militer Zionis pada Perang Arab-Israel 1948.

Ahmad Yassin adalah seorang tunadaksa yang bisa dibilang separuh tunanetra. Ia menggunakan kursi roda sejak menderita cedera tulang belakang yang parah, ketika bermain adu gulat dengan temannya pada usia 12 tahun. Kerusakan syaraf tulang belakang itu membuatnya jadi tunadaksa sampai akhir hidupnya.

Meskipun Yassin sempat mengenyam kuliah sastra Inggris di Universitas Ain Shams, Cairo, Mesir, ia tak sanggup meneruskan kuliahnya karena kesehatannya yang merosot. Ia dipaksa untuk belajar di rumah, di mana ia membaca banyak buku, khususnya buku tentang filsafat, agama, politik, sosiologi, dan ekonomi.

Para pengikutnya meyakini, pengetahuannya yang luas membuat Yassin menjadi “salah satu pembicara terbaik di Jalur Gaza.” Selama jangka waktu itu, ia mulai memberikan khotbah-khotbah mingguan sesudah ibadah sholat Jumat, yang menarik minat banyak orang.

Sesudah bertahun-tahun menganggur, Yassin akhirnya mendapat pekerjaan sebagai guru bahasa Arab di Sekolah Dasar di Rimal, Gaza. Semula pihak sekolah ragu mempekerjakan dia karena ketunadaksaannya. Namun, meski menderita kelumpuhan, ternyata Yassin mampu mengajar dengan baik, dan popularitasnya pun tumbuh.

Sesudah memiliki pekerjaan tetap, kondisi keuangannya mulai stabil. Maka, Yassin menikahi salah satu kerabatnya, Halima Yassin pada 1960, di usia 22 tahun. Pasangan itu lalu memperoleh 11 anak.

Yassin kemudian mulai terlibat pada gerakan Ikhwanul Muslimin cabang Palestina. Gerakan ini awalnya berasal dari Mesir. Pada 1984, Yassin dan teman-temannya dipenjara karena ketahuan secara diam-diam menimbun senjata. Pada 1985, ia dibebaskan sebagai bagian dari Persetujuan Jibril.

Pada 1987, selama gerakan Intifada Pertama, Yassin bersama Abdel Aziz al-Rantisi mendirikan Hamas, dan menyebutnya sebagai “sayap paramiliter” Ikhwanul Muslimin Palestina. Yassin pun menjadi pemimpin spiritual Hamas.

Dalam pandangan politiknya, Yassin menentang proses perdamaian antara Palestina dan Israel. Ia mendukung perlawanan bersenjata terhadap Israel, dan sangat vokal dalam menyuarakan pandangannya itu. Yassin menegaskan, Palestina adalah tanah Islam “yang ditahbiskan untuk generasi-generasi Muslim masa depan sampai Hari Kiamat.” Menurut Yassin, tak satu pun pemimpin Arab yang memiliki hak untuk menyerahkan satu jengkal pun tanah Palestina.

Dalam retorikanya, Yassin tidak membedakan antara Israel dan Yahudi. Namun, Yassin juga dikutip pernah menyatakan, ia tak punya masalah dengan Yahudi sebagai bangsa, dan konfliknya dengan Yahudi adalah bersifat politik, bukan agama. Pernyataan Yassin bahwa “kita telah memilih jalan ini, dan akan berujung dengan syahid atau kemenangan” kemudian menjadi slogan populer yang diulang-ulang oleh warga Palestina.

Pada 1989, Yassin ditangkap oleh Israel dan dihukum penjara seumur hidup. Namun, pada 1997, Yassin dibebaskan dari penjara Israel sebagai bagian dari kesepakatan Israel-Yordania, sesudah terjadinya usaha pembunuhan yang gagal oleh dua agen Mossad Israel terhadap tokoh Hamas, Khaled Mashal, di Yordania. Dua agen Mossad itu ditangkap oleh otoritas Yordania, dan lalu dibebaskan lagi, karena ditukar dengan dibebaskannya Yassin dari penjara Israel.

Sebagai syarat pembebasannya, Yassin diminta menahan diri dari menyerukan aksi-aksi bom bunuh diri terhadap Israel. Namun, sesudah kembali memimpin Hamas, Yassin segera menyerukan aksi-aksi serangan terhadap Israel. Ia juga berusaha menjaga hubungan dengan Otoritas Palestina, karena meyakini bahwa benturan antara Hamas dan Otoritas Palestina akan merugikan kepentingan rakyat Palestina.

Israel sudah lama mengincar untuk membunuh Yassin. Pada 6 September 2003, sebuah pesawat tempur F-16 Angkatan Udara Israel menembakkan beberapa rudal ke arah sebuah bangunan di Kota Gaza. Yassin waktu itu sedang berada di gedung tersebut, namun ia selamat, hanya menderita luka. Para pejabat Israel kemudian membenarkan bahwa Yassin adalah sasaran serangan itu.

Yassin akhirnya terbunuh dalam serangan Israel pada 22 Maret 2004, ketika ia sedang didorong dengan kursi roda pada dinihari, untuk sholat subuh di masjid kota Gaza. Sebuah helikopter AH-64 Apache Israel meluncurkan rudal-rudal Hellfire, yang seketika menewaskan Yassin dan dua pengawal pribadinya. Sembilan warga Palestina lain yang berada dekat lokasi itu juga tewas.

Yassin selalu menggunakan rute yang sama setiap pagi, untuk pergi ke masjid yang sama di distrik Sabra, yang jaraknya cuma 100 meter dari rumahnya. Ini membuat operasi pembunuhan Yassin mudah dilakukan oleh militer Israel. Sesudah syahidnya Yassin, wakil Yassin –Abdel Aziz al-Rantisi—menjadi pemimpin Hamas. Sekitar 200.000 warga membanjiri jalan-jalan di Gaza, mengiringi pemakaman Yassin. Otoritas Palestina mengumumkan masa berkabung tiga hari.

Sekjen PBB Kofi Annan mengecam pembunuhan Yassin. Komisi Hak-hak Asasi Manusia PBB juga meloloskan sebuah resolusi, yang mengecam serangan yang menewaskan Yassin. Resolusi itu didukung oleh 31 negara, termasuk China, India, Indonesia, Rusia, dan Afrika Selatan, dengan dua suara menentang dan 18 abstain. Liga Arab dan Uni Afrika juga mengeluarkan kecaman yang sama. ***

Artikel ini ditulis oleh: