Hutang luar negeri. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com-Pemerintah seharusnya mau mengevaluasi efektivitas kebijakan defisit APBN yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal efektif. Pasalnya, selama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) defisit APBN hampir mendekati batas akhir yaitu 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Apalagi dampaknya, dengan defisit yang makin lebar, pemerintah hanya akan menumpuk utang baru. Ini tentu akan memberatkan ke depannya.

“Ekspansi fiskal harusnya berdampak pada peningkatan produktivitas yang tercermin pada peningkatan penerimaan negara dan menurunnya pembiayaan defisit ke depan,” tegas Direktur INDEF, Enny Sri Hartati di Jakarta, Rabu (7/12).

Namun sayangnya, kata dia, alih-alih mau menurunkan pembiayaan defisit justru defisit keseimbangan primer semakin membengkak. Makanya, pemerintah harus tegas menetapkan kriteria atau pra syarat suatu program atau proyek yang boleh dibiayai dengan utang.

“Hal ini penting, di samping untuk menjamin efektif meningkatkan produktivitas, juga harus mampu mengembalikan beban bunga dan cicilan utang,” cetus dia.

Seperti diketahui, dalam kurun lima tahun terakhir, realisasi defisit anggaran cenderung meningkat. Bahkan saat era Jokowi tren defisitnya makin tinggi.

Pada APBN Perubahan 2015, defisitnya tinggi mencapai 2,59%, pada APBNP 2016 pemerintah targetkan defisit 2,35%, dan di APBN 2017, pemerintah kembali menaikkan defisit sebesar 12,9% menjadi Rp330,2 triliun menjadi 2,41% dari PDB.

Enny kembali menegaskan, dengan kondisi defisit seperti itu, mestinya pemerintah bisa mengembangkan berbagai alternatif pembiayaan agar bisa menjaga kesinambungan fiskal.

“Tapi sayangnya, pemerintah cenderung mencari instrumen pembiayaan yang instan. Selama ini, pembiayaan defisit dari utang mencapai 98,8 persen,” keluh dia.

Padahal, katanya, hingga Agustus 2016, posisi utang dalam negeri mencapai Rp1.966,8 triliun. Dan utang luar negeri sebesar Rp1.471,4 triliun. Sehingga, rasio utang pemerintah terhadap PDB dalam lima tahun terakhir naik cukup fantastis.

“Dari Rp1.809 triliun atau 23 persen terhadap PDB menjadi Rp3.445 triliun atau 27,3 persen terhadap PDB pada September 2016,” cetus Enny.

Lebih parah lagi, kecam dia, realisasi anggaran yang telah dibiayai dengan utang tidak terserap secara optimal. Terbukti, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) rata-rata sebesar Rp23,6 triliun.

“SiLPA memang akan menambah saldo anggaran lebih (SAL) yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan tahun berikutnya. Akan tetapi, perlu diingat, SiLPA yang berasal dari utang, tentu akan menimbulkan beban tambahan bagi pemerintah,” pungkas Enny.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara