Jakarta, Aktual.com – Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI), Haryajid Ramelan menyayangkan sikap pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang ngotot melakukan revisi PP Nomor 52 dan Nomor 53 tahun 2000.
Pasalnya, dengan revisi ini kinerja emiten BUMN telekomunikasi, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk yang akan jadi korban. Emiten berkode TLKM ini dinilai berpotensi mengalami kerugian besar.
“Revisi ini akan merugikan perusahaan yang sudah berinvestasi besar, yaitu TLKM. Jadi, pemerintah harusnya mempertimbangkan investasi yang sudah ditanamkan TLKM itu,” ujar Haryajid di Jakarta, Kamis (8/12).
Untuk itu, dia berharap, agar pemerintah memproteksi seluruh perusahaan BUMN, khususnya BUMN yang memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan seperti Telkom ini. Padahal di banyak negara, seperti China, perlindungan pemerintah terhadap perusahaan BUMN sangat tinggi.
“Mereka (pemerintah China) melakukan proteksi kepada BUMN-nya agar perekonomian negaranya dapat tumbuh seperti yang diharapkan. Di kita, TLKM malah tergerus kinerjanya akibat revisi PP ini,” jelas Haryajid.
Sejauh ini, kata dia, kinerja TLKM yang positif, sahamnya diburu banyak investor. Tahun depan pun masih sangat menarik.
“Karena sebagian besar orang tetap tertuju pada TLKM. Dengan posisinya sebagai BUMN berkinerja terbaik dibanding operator kompetitor, ISAT dan EXCL,” tandas dia.
Leonardo Henry Gavaza, CFA Senior Research Manager PT Bahana Securities menambahkan, jika revisi PP 52/53 tahun 2000 diberlakukan, dirinya memastikan kinerja keuangan Telkom akan tergangu.
“Ini disebabkan Telkom yang sudah melakukan investasi jauh lebih lama dan suffer (menderita) cukup panjang. Namun kini mereka diwajibkan untuk berbagi jaringan dengan operator lain. Padahal Telkom baru menikmati hasil jerih payahnya mereka melakukan investasi penggelaran jaringan,” papar Leo
Dan penderitaan Telkom saat ini, kata dia, demi keberlangsungan telekomunikasi saat ini yang menjangkau seluruh pelosok Indonesia.
“Jika Telkom tidak suffer beberapa waktu yang lalu, maka tidak ada masyarakat yang akan menikmati layanan telekomunikasi di daerah terpencil dan terluar indonesia. Sementara kinerja keuangan XL dan Indosat akan akan terbantu jika revisi PP 52/53 ini berjalan. Sangat disayangkan,” terang Leo.
Ditambah lagi, ujarnya, dengan penetapan biaya interkoneksi yang akan dilakukan oleh Kominfo itu masih akan menyulitkan kinerja TLKM.
Jika pemerintah menurunkan biaya interkoneksi sebesar Rp 204 permenit, Leo memperkirakan EBITDA dan ARPU perusahaan telekomunikasi akan mengalami penurunan yang cukup siginfikan. Terutama TLKM.
Ini disebabkan operator akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga layanan voice. Jika biaya interkoneksi tidak mengalami penurunan maka pertumbuhan ARPU dan EBITDA margin emiten sektor telekomunikasi akan sama seperti yang saat ini terjadi. Di mana TLKM masih teratas.
“Jika satu operator melakukan penurunan harga maka akan diikuti oleh operator lainnya. Biasanya yang akan memulai penurunan itu adalah Indosat dan XL. Pastinya Telkom akan melawan dengan melakukan hal yang sama. Itu yang membuat ARPU dan EBITDA margin semua operator akan mengalami penurunan,” ujar Leo.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka