Jakarta, Aktual.Com-Mantan Anggota Komisi III DPR, Djoko Edhi Abdurrahman mempertanyakan obyektifitas dan profesionalitas Kejaksaan Agung dalam perkara penuntutan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas kasus dugaan penistaan agama.

Menurut Djoko secara teoritis dalam sistem peradilan pidana (crime justice systems), kedudukan Jaksa Agung (Jakgung) adalah penuntut umum. Jakgung adalah ghost terhadap eksistensi JPU (jaksa penuntut umum).

Jakgung dalam hal ini kata dia wajib menggunakan haknya dalam KUHAP (pasal 183, 184, 185, 186) untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Ghost sendiri merupakan otak dari JPU yang wajib membuktikan tuduhannya. Sedangkan JPU adalah kepanjangan tangan dari ghost untuk melakukan acaranya mengikuti hukum acara (KUHAP).

Jadi, ketika perkara sampai pada tahap P21 (telah dilimpahkan), JPU sudah harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah. Jika sebaliknya, JPU bisa menerbitkan surat penghentian penuntutan perkara (SKP2) atau tuntutan bebas murni di pengadilan (vis praak).

“Saya terkejut ketika kemarin Jakgung menyatakan kepada pers agar Ahok tidak dijustifikasi. Maksudnya, agar Ahok tidak dinilai bersalah. Kepada siapa pernyataan Jakgung ditujukan? Pernyataan ini paradoksal dengan tugas Jakgung.Tidak dapat pernyataan Jakgung tadi dipandang dari azas presumption of innocent (praduga tak bersalah),” tanya Djoko, Sabtu (10/12/2016).

Dalam aturan peradilan lanjut dia azas presumtion of innocent hanya digunakan oleh lawan penuntut, yaitu

Pertama, pengacara yang bertindak selaku pembela terdakwa.
Kedua, oleh hakim yang mengadili hingga majelis hakim memutuskan perkara.
Ketiga, juri yang mengadili dalam system Anglo Saxon dan British Law yang memutus guilty or not guilty (salah atau benar). Terakhir, publik di luar pengadilan hingga terbit putusan berkekuatan hukum tetap (inkraht).

Di luar ke empat aspek itu kata Djoko, azas praduga digunakan oleh insan pers agar menghindari trial by the pers (penghukuman oleh pemberitaan media massa).

“Di luar itu, penggunaan tuduhan salah benar adalah masalah etis dan tidak. Maling yang tertangkap tangan harus dinyatakan bersalah. Begitu juga dengan Ahok. Landasan moral publik harus menjadi nilai moral teknik yuridis. Jika terjadi paradok antara keduanya, ada yang tak beres pada hukum secara fatal,” tukas Djoko.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Bawaan Situs